Cari

PROFIL

Foto saya
DLM HIDUP BANYAK COBAAN MENGHADANG. DLM HTI: "YA ALLAH BANTU Q HDAPI SEMUA INI N TABAHKANLAH HATI INI". SESULIT APA PUN HIDUP INI JANGAN PERNAH MENYERAH DLM SETIAP COBAAN PASTI ADA HIKMAH DIDALAMNYA. KARENA ITU ---->BERUSAHA DAN BERDOALAH CZ -BERUSAHA TANPA DOA SOMBONG- DOA TANPA USAHA BOHONG- OPTIMIS PASTI BISA!

Rabu, 27 Oktober 2010

Tanda dan diagnosis kehamilan

by painlesslabor in Askeb 1

Tanda dan diagnosis kehamilan

Kehamilan dimulai dari konsebsi hingga lahirnya janin, kirakira 40 minggu dan tidak lebih dari43 minggu. Kehamilan dibagi menjadi 3 trimester, TM 1 (0-13 bln), TM2 (13-27 bln), TM3(28-40 bln). Diagnosis kehamilan ditegakkan dengan riwayat kesehatan dan pemeriksaan klinis berdasarkan tanda dan gejala kehamilan

Tanda dan gejala kehamilan

Tanda mungkin hamil

* Amenorhea –> wanita tidak dating menstruasi, gejala pertama yang dirasakan dan dianggap kalau dirinya hamil, meskipun ada penyebab dari timbulnya amenorhea: stress, obat2an dan penyakit kronis.
* Nausea ( mual ) dan emesis ( muntah ) –> umumnya terjadi pada wanita hamil muda umur 6-8 minggu. Akibat dari meningkatnya hormon HCG ( Human Corionic Gonadotrophin ) secara tiba2 dalam aliran darah.
* Mastoidynia –>payudar terasa nyeri dan kencang disebabkan payudara membesar karena pengaruh hormon estrogen pada ductus mammae dan progesteron pada alveoli.
* Quickening–> Perasaan gerakan janin pada minggu ke 18 atau minggu 20 ( primigravida ) dan umur 14 atau 16 minggu (multigravida).
* Miksi –> Wanita hamil trimester 1 &3 sering merasakan kencing karena uterus yang gravid mendesak vesica urinaria.
* Konstipasi –> Kesulitan buang air besar karena pengaruh hormon progesteron yang hambat peristaltik usus dan karena perubahan pola makanan.
* Weight gain –> pertambahan berat badan ibutidak berbanding lurus dengan pertambahan berat badan janin artinya setelah umur 20 minggu umumnya pertambahan berat badan normal selama kehamilan adalah 8-14 minggu.
* Fatigue –> Perasaan lelah pada ibu hamil sulit diterangkan, namun kerja jantung dirasakan lebih berat pada UK 32 minggu.
* Mengidam –> Ingin makan atau minum tertentu, terjadi pd TM 1.
* Sincope ( pinsan ) –> Adanya gangguan sirkulasi kedaerah kepala (sentral) sehingga menyebabkan iskemik susunan saraf pusat.
* Perubahan temperatur basal –> Jika terjadi kehamilan dan ovulasi, maka suhu basal ibu akan meningkat selama kehamilan hingga melahirkan.
* Pigmentasi kulit –> Pengaruh hormon kortikosteroid plasenta, sering dijumpai pd muka ( chloasma gravidarum ), dinding perut (striae gravidarum = suatu perubahan warna seperti jaringan parut), leher dan sekitar payudara ( hiperpigmentasi areola mamae).

Tanda tidak pasti

* Perut membesar.
* Uterus membesar, sesuai dengan umurkehamilan.
* Tanda Chadwicks, mukosa vagina berwarna kebiruan karena hipervaskularisasi hormon estrogen.
* Disharge, lebih banyak dirasakan wanita hamil. Ini pengaruh hormon estrogen dan progesteron.
* Tanda Goodell, portio teraba melunak.
* Tanda Hegar, isthmus uteri teraba lebih panjang dan lunak. Dapat diketahi dengan pemeriksaan bimanual. Tanda ini terlihat pada minggu ke6 dan menjadi semakin jelas pada minggu ke 7-8.
* Tanda Piscaseck, pembesaran / pertumbuhan asimetris bagian uterus yang dekat dengan implantasi plasenta. Biasanya ditemukan pada umur 10 minggu.
* Teraba ballontement (tanda ada benda mengapung / melayang dalam cairan), pd UK 16-20 minggu.
* Kontraksi Braxton Hicks, kontraksi uterus (perut terasa kencang ) tetapi disertai rasa nyeri.
* Reaksi kehamilan positif
* Palpasi ==> ditentukan dulu outline janin, biasanya menjadi jelas setelah minggu ke 22.
* Terdengar denyut jantung janin

Tanda pasti

* Fetal elektrocardiograph UK 12 minggu
* Sistem Doppler UK 12 minggu
* Stetoskop Laennec UK 18 minggu

Senin, 25 Oktober 2010

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN BAB I KETENTUAN UMUM

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
3. Surat Izin Praktek Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik kebidanan.
4. Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi dan standar operasional prosedur.
5. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada tenaga kesehatan yang memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Obat Bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
7. Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna biru yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
8. Organisasi Profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia
BAB II PERIZINAN
Pasal 2
1. Bidan dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan
2. Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri dan/atau praktik mandiri.
3. Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) kebidanan.
Pasal 3
1. Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB
2. Kewajiban memiliki SIPB dikecualikan bagi bidan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri atau Bidan yang menjalankan tugas pemerintah sebagai Bidan Desa.
Pasal 4
1. SIPB sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.
2. SIPB berlaku selama STR masih berlaku.
Pasal 5
1. Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bidan harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
a. Fotocopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari Dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d. Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga ) lembar; dan
e. Rekomendasi dari Organisasi Profesi
2. Surat permohonan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana tercantum dalam Formulir I (terlampir)
3. SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat praktik.
4. SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir
Pasal 6
1. Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi tempat praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan
2. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran peraturan ini.
3. Dalam menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan wajib memasang nama praktik kebidanan
Pasal 7
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
1. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut atas perintanh pengadilan
4. Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
5. Yang bersangkutan meninggal dunia
BAB III PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 8
Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan meliputi:
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pasal 9
1. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan kepada ibu dan bayi
2. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa menyusui.
3. Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari.
Pasal 10
1. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan persalinan normal
e. Pelayanan ibu nifas normal
2. Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan
f. Pemberian penyuluhan
Pasal 11
Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a berwenang untuk:
a. Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah
b. Bimbingan senam hamil
c. Episiotomi
d. Penjahitan luka episiotomi
e. Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
f. Pencegahan anemi
g. Inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h. Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
j. Pemberian minum dengan sonde/pipet
k. Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif kala III;
l. Pemberian surat keterangan kelahiran
m. Pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan cuti melahirkan
Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b, berwenang untuk;
a. Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
b. Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan supervisi dokter;
c. Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
d. Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah; dan
e. Memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada perempuan pada masa pranikah dan prahamil.
Pasal 13
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf c, berwenang untuk:
a. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi;
b. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan
c. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya.
Pasal 14
1. Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
2. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
3. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4. Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
Pasal 15
1. Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter.
2. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleenggarakan sesuai dengan modul Modul Pelatihan yang ditetapkan oleh Menteri.
3. Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh sertifikat.
Pasal 16
Pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan Bidan dengan pendidikan Diploma III kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan yang telah mengikuti pelatihan.
Pasal 17
Bidan dalam menjalankan praktik harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pasal 18
1. Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien
b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.
c. Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;
g. Mematuhi standar; dan
h. Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan kematian.
2. Bidan dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik sepanjang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/ atau keluarganya;
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar pelayanan; dan
d. Menerima imbalan jasa profesi.
Bab IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 20
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan dan mengikutsertakan organisasi profesi.
2. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Pasal 21
1. Dalam rangka melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini.
2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pencabutan SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau
d. Pencabutan SIPB selamanya.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
1. SIPB yang dimiliki Bidan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan masih tetap berlaku sampai masa SIPB berakhir.
2. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, SIPB yang sedang dalam proses perizinan, dilaksanakan sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan sepanjang yang berkaitan dengan perizinan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 2010
Dr. Endang rahayu Sedyaningsih, MPH, DR, PH

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/MENKES/PER/III/2010 TENTANG PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 317/MENKES/PER/III/2010
TENTANG
PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
DI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa pengaturan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 441/Per/XI/1980 tentang Penggunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing pada Unit Kesehatan di Indonesia, namun sudah tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan sehingga perlu diambil langkah-langkah perubahan;
b
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Di Indonesia;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474);
2.
3.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
1
4.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548;
5.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
6.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1994 tentang Visa, Ijin Masuk dan Ijin Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3563) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4541);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
2
11.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;
12.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor. KEP-249/MEN/82 tahun 1982 tentang Pelaksanaan Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja WNA Pendatang pada sektor Kesehatan sub sektor Pelayanan Kesehatan;
13.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-173/MEN/2000 tentang Jangka Waktu Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;
14.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 131/Menkes/SK/11/ 2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional;
15.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia Nomor M.01-IZ.01.10 tahun 2007 tentang perubahan kedua atas keputusan menteri kehakiman Nomor M.02-IZ.01.10 tahun 1995 tentang visa singgah, visa kunjungan, visa tinggal terbatas, ijin masuk dan ijin keimigrasian;
16.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/ /2007 tentang Izin Praktik dan pelaksanaan Praktik Kedokteran;
17.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA.
3
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Tenaga kesehatan warga negara asing yang selanjutnya disingkat TK-WNA adalah warga negara asing pemegang izin tinggal terbatas yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan dan bermaksud bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah Indonesia.
2. Tenaga Pendamping adalah tenaga kesehatan Indonesia dengan keahlian yang sesuai yang ditunjuk sebagai pendamping TK-WNA dan dipersiapkan sebagai calon pengganti TK-WNA.
3. TK-WNA Pemberi Pelatihan adalah tenaga kesehatan warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhubungan secara langsung dengan pasien.
4. TK-WNA Pemberi Pelayanan adalah tenaga kesehatan warga negara asing yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan yang berhubungan secara langsung dengan pasien.
5. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TK-WNA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TK-WNA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat yang ditunjuk.
6. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TK-WNA.
7. Alih teknologi dan alih keahlian adalah proses pemindahan pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional TK-WNA kepada tenaga pendamping.
8. Evaluasi adalah proses penyesuaian kompetensi tenaga kesehatan lulusan luar negeri agar memenuhi kebutuhan kompetensi yang tepat untuk bekerja di wilayah Indonesia.
9. Sertifikasi kompetensi adalah suatu proses pengakuan terhadap kompetensi yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, dan sikap seorang tenaga kesehatan melalui uji kompetensi.
10. Uji Kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur apakah seseorang telah memiliki kemampuan dan/atau keterampilan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
11. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk menjalankan pekerjaan profesinya.
12. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh KKI atau MTKI kepada TK-WNA yang telah diregistrasi.
4
13. Konsil Kedokteran Indonesia yang selanjutnya disingkat KKI adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen yang mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
14. Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia yang selanjutnya disingkat MTKI adalah lembaga yang berfungsi untuk menjamin mutu tenaga kesehatan selain dokter dan dokter gigi yang memberikan pelayanan kesehatan.
15. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Pasal 2
Pendayagunaan TK-WNA dipertimbangkan sepanjang terdapat hubungan bilateral antara Negara Republik Indonesia dengan Negara asal TK-WNA yang bersangkutan, yang dibuktikan dengan adanya hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pasal 3
(1) TK-WNA hanya dapat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu atas permintaan pengguna TK-WNA.
(2) TK-WNA dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka kerja sosial.
(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan pada pemberian pertolongan pada bencana atas izin pihak yang berwenang.
Pasal 4
(1) TK-WNA dilarang menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) TK-WNA dilarang melaksanakan tugas dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian, jabatan, fasilitas pelayanan kesehatan dan tempat atau wilayah kerja yang telah ditentukan dalam IMTA.
Pasal 5
Bidang pekerjaan yang dapat ditempati TK-WNA meliputi:
a. Pemberi pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan.
b. Pemberi pelayanan.
5
BAB II
JENIS, KUALIFIKASI PENDIDIKAN DAN PERSYARATAN TK-WNA
Pasal 6
(1) Jenis TK-WNA Pemberi Pelayanan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari KKI, atau MTKI, dengan memperhatikan kebutuhan pelayanan dan ketersediaan tenaga kesehatan Indonesia.
(2) Jenis TK-WNA Pemberi Pelatihan ditentukan oleh Menteri berdasarkan kebutuhan akan alih teknologi dan ilmu pengetahuan serta harus mendapatkan rekomendasi dari kolegium bagi dokter dan dokter gigi WNA atau organisasi profesi bagi TK-WNA lain.
Pasal 7
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan berkualifikasi minimal dokter spesialis dan atau dokter gigi spesialis atau yang setara, serta S1 bagi tenaga kesehatan lainnya.
(2) TK-WNA Pemberi Pelatihan berkualifikasi minimal dokter subspesialis atau konsultan, dokter gigi subspesialis atau konsultan atau yang setara, serta S2 bagi tenaga kesehatan lainnya.
Pasal 8
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki STR yang dikeluarkan oleh KKI untuk dokter dan dokter gigi atau oleh MTKI untuk tenaga kesehatan lain serta memiliki Surat Izin Praktik (SIP).
(2) TK-WNA Pemberi Pelatihan harus memiliki surat keterangan referensi keahlian yang dikeluarkan oleh kolegium bagi dokter dan dokter gigi WNA atau organisasi profesi bagi TK-WNA lain serta mendapatkan persetujuan dari KKI bagi dokter dan dokter gigi WNA atau dari MTKI bagi TK-WNA lain.
Pasal 9
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan harus mengikuti proses evaluasi.
(2) Proses evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
6
Pasal 10
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan bekerja selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) TK-WNA Pemberi Pelatihan bekerja untuk jangka waktu 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang.
BAB III
PERSYARATAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
PENGGUNA TK-WNA
Pasal 11
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan hanya dapat bekerja di Rumah Sakit Kelas A dan Kelas B yang telah terakreditasi serta fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) TK-WNA pemberi pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan alih teknologi dan pengetahuan.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang akan mempekerjakan TK-WNA pemberi pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin operasional tetap dan minimal telah berjalan 2 (dua) tahun.
Pasal 12
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan yang akan menggunakan TK-WNA harus memiliki RPTKA dan IMTA.
(2) Menteri mengeluarkan rekomendasi untuk pengesahan RPTKA dan IMTA.
(3) Tata cara permohonan pengesahan RPTKA dan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Untuk mendapatkan rekomendasi RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), fasilitas pelayanan kesehatan mengajukan permohonan secara tertulis dengan melampirkan :
a. Akte badan hukum;
b. Sertifikat akreditasi bagi Rumah Sakit;
c. surat izin operasional tetap minimal telah berjalan 2 (dua) tahun bagi fasilitas pelayanan kesehatan tertentu;
d. surat keterangan domisili;
e. bagan struktur organisasi;
f. surat bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku;dan
g. surat keterangan memenuhi kesehatan lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
7
(2) Permohonan rekomendasi RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada:
a. Menteri atau pejabat yang ditunjuk melalui Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Kabupaten/Kota atau swasta;
b. Menteri atau Pejabat yang ditunjuk melalui Kepala Dinas kesehatan Propinsi bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah Propinsi;
c. Menteri atau pejabat yang ditunjuk bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Departemen Kesehatan.
(3) Dalam rangka penerbitan rekomendasi RPTKA, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan:
a. pengkajian RPTKA berdasarkan kebutuhan daerah;
b. peninjauan lapangan dan menilai kelayakan sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah kabupaten/kota dan swasta;dan
c. menyampaikan hasil pengkajian dan peninjauan lapangan kepada Pemerintah Propinsi.
(4) Dalam rangka penerbitan rekomendasi RPTKA, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi melakukan:
a. pengkajian RPTKA berdasarkan kebutuhan daerah;
b. peninjauan lapangan dan menilai kelayakan sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah propinsi;
c. penilaian dokumen yang diajukan oleh pemerintah kabupaten/kota;
d. penyampaian hasil pengkajian dan peninjauan lapangan dan penilaian dokumen kepada Pemerintah.
(5) Dalam rangka penerbitan rekomendasi RPTKA, Menteri atau pejabat yang ditunjuk melakukan:
a. pengkajian RPTKA berdasarkan kebutuhan nasional;
b. peninjauan lapangan dan menilai kelayakan fasilitas pelayanan kesehatan; dan
c. penilaian dokumen yang diajukan oleh pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 14
(1) Untuk mendapatkan Rekomendasi IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), fasilitas pelayanan kesehatan mengajukan permohonan secara tertulis dengan melampirkan:
a. sertifikat kompetensi dari negara asal;
b. Surat Tanda Registrasi atau surat keterangan telah teregristrasi sebagai tenaga kesehatan dari Instansi yang berwenang di bidang kesehatan di negara asal;
c. fotocopy ijasah pendidikan tenaga kesehatan yang diakui oleh negara asal;
d. surat pernyataan telah mengucapkan sumpah atau janji profesi;
e. surat keterangan sehat fisik dan mental dari negara asal;
8
f. surat keterangan pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun sesuai dengan jabatan yang akan diduduki;
g. surat rekomendasi (letter of performance) dari Instansi yang berwenang di bidang kesehatan di negara asal;
h. surat keterangan berkelakuan baik dari instansi yang berwenang di negara asal;
i. surat keterangan tidak pernah melakukan pelanggaran etik dari organisasi profesi negara asal;
j. surat izin praktik dari negara asal yang masih berlaku;
k. surat pernyataan bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan, sumpah profesi kesehatan, dan kode etik profesi kesehatan yang berlaku di Indonesia;
l. surat pernyataaan bersedia melakukan alih teknologi dan ilmu pengetahuan kepada tenaga kesehatan Warga Negara Indonesia khususnya tenaga pendamping;
m. surat pernyataan dari fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dengan menunjukkan bukti bersedia dan mampu menanggung biaya hidup minimal untuk jangka waktu 2 (dua) tahun di Indonesia;
n. mampu berbahasa Indonesia dengan baik yang dibuktikan dengan sertifikat bahasa Indonesia dari lembaga yg ditunjuk oleh pemerintah;
o. surat pernyataan bersedia melakukan evaluasi bagi TK-WNA Pemberi Pelayanan;
p. surat persetujuan (letter of acceptance) dari kolegium terkait di Indonesia;
q. fotocopy keputusan pengesahan RPTKA yang masih berlaku;
r. daftar riwayat hidup calon TK-WNA; dan
s. fotocopy paspor calon TK-WNA.
(2) Permohonan rekomendasi IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada:
a. Menteri atau pejabat yang ditunjuk melalui Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Kabupaten/Kota atau swasta;
b. Menteri atau pejabat yang ditunjuk melalui Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Propinsi;
c. Menteri atau pejabat yang ditunjuk bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah.
Pasal 15
(1) Penyelenggara pelatihan yang dapat menggunakan TK-WNA Pemberi Pelatihan meliputi:
a. institusi pendidikan tenaga kesehatan yang terakreditasi;
b. rumah sakit pendidikan;
c. organisasi profesi;
d. rumah sakit non pendidikan.
9
(2) Rumah Sakit non pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus bekerja sama dengan institusi pendidikan tenaga kesehatan yang terakreditasi, rumah sakit pendidikan, dan/atau organisasi profesi.
Pasal 16
(1) Penyelenggara pelatihan mengajukan permohonan Persetujuan kepada KKI bagi dokter dan dokter gigi WNA atau Menteri bagi TK-WNA lain.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah memperoleh pengesahan RPTKA dan IMTA.
Pasal 17
Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, penyelenggara pelatihan mengajukan permohonan dengan melampirkan:
a. proposal/kerangka acuan pelaksanaan kegiatan pelatihan;
b. ijasah pendidikan TK-WNA yang diakui oleh negara asal;
c. surat keterangan pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun sesuai dengan jabatan yang akan diduduki;
d. surat rekomendasi dari Instansi yang berwenang di bidang kesehatan di negara asal;
e. daftar riwayat hidup TK-WNA (pengalaman dalam bidang terkait dan publikasi);
f. surat keterangan berkelakuan baik dari instansi yang berwenang di negara asal; dan
g. surat keterangan referensi keahlian dari kolegium atau organisasi profesi terkait di Indonesia.
BAB IV
SERTIFIKASI DAN REGISTRASI TK-WNA
Pasal 18
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki sertifikat kompetensi.
(2) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh sesuai peraturan perundang-undangan.
10
Pasal 19
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh KKI untuk dokter dan dokter gigi atau oleh MTKI untuk tenaga kesehatan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB V
TATA CARA PERPANJANGAN PENDAYAGUNAAN TK-WNA
Pasal 20
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan yang telah berakhir masa kerjanya dapat diperpanjang selama 1 (satu) tahun setelah memenuhi persyaratan.
(2) Dalam hal perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) fasilitas pelayanan kesehatan melakukan:
a. permohonan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan paling lama 3 (tiga) bulan sebelum berakhir masa kerja TK-WNA sebagai pemberi pelayanan;
b. permohonan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan ditujukan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2);
c. permohonan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan sebagaimana dimaksud pada huruf b dengan melampirkan:
1) surat persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA sebagai pemberi pelayanan;
2) surat rekomendasi dari organisasi profesi yang menyatakan tidak ada pelanggaran dalam pelayanan yang sudah dilaksanakan;
3) laporan hasil kerja TK-WNA pemberi pelayanan selama 6 (enam) bulan terakhir; dan
4) rencana kerja TK-WNA pemberi pelayanan 1 (satu) tahun yang akan datang.
(3) Dalam hal permohonan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk melakukan:
a. penilaian permohonan perpanjangan masa kerja TK-WNA sebagai pemberi pelayanan dengan melibatkan Konsil Kedokteran Indonesa atau MTKI;
b. menerbitkan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan;
c. menerbitkan surat keterangan penolakan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan;
11
d. mengirimkan rekomendasi persetujuan atau surat keterangan penolakan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
Pasal 21
(1) Penyelenggara Pelatihan dapat mengajukan permohonan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelatihan ditujukan kepada KKI bagi dokter dan dokter gigi WNA atau Menteri bagi TK-WNA lain.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan:
a. surat persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelatihan;
b. surat rekomendasi dari organisasi profesi yang menyatakan tidak ada pelanggaran dalam pelayanan yang sudah dilaksanakan;
c. laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan selama 6 (enam) bulan terakhir; dan
d. rencana pelaksanaan pendidikan dan pelatihan 6 (enam) bulan yang akan datang.
Pasal 22
Tata cara perpanjangan IMTA dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
Pasal 23
(1) TK-WNA berhak mendapatkan kompensasi dari fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan sesuai kontrak.
(2) TK-WNA berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pekerjaan yang sesuai standar profesinya sesuai dengan peraturan perundangan.
Pasal 24
(1) TK-WNA berkewajiban menyampaikan laporan kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan kompetensinya secara periodik kepada organisasi profesi dengan tembusan kepada Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/kota.
12
(2) TK-WNA berkewajiban menaati standar profesi, standar pelayanan dan etika profesi.
BAB VII
KEWAJIBAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
Pasal 25
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban menunjuk 2 (dua) orang tenaga kesehatan Indonesia sebagai tenaga pendamping.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban memberikan kompensasi yang sesuai atas setiap TK-WNA yang dipekerjakan.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban melaporkan secara berkala hasil kerja TK-WNA kepada Dinas Kesehatan setempat.
(4) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban melaporkan TK-WNA setelah hubungan kerja berakhir.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 26
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan ini.
(2) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengambil tindakan administratif.
Pasal 27
(1) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat berupa:
a. teguran lisan,
b. teguran tertulis, atau
c. pencabutan izin, antara lain: izin fasilitas pelayanan kesehatan, IMTA dan/atau STR.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
13
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan TK-WNA pada saat ditetapkannya peraturan ini harus menyesuaikan diri dengan peraturan ini paling lama 6 (enam) bulan sejak peraturan ini ditetapkan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 441/Menkes/Per/XI/1980 tentang Pembatasan Penggunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing pada unit kesehatan di Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 30
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
                                                 
                                                                                          Ditetapkan di Jakarta
                                                                                     pada tanggal 1 Maret 2010
                                                                                                  Menteri,
                                                                                                     ttd
                                                                     Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR.PH

Minggu, 24 Oktober 2010

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 760/MENKES/SK/VI/2007 TENTANG PENETAPAN LANJUTAN RUMAH SAKIT RUJUKAN BAGI ORANG DENGAN HIV DAN AIDS (ODHA)

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 760/MENKES/SK/VI/2007

TENTANG

PENETAPAN LANJUTAN RUMAH SAKIT RUJUKAN BAGI ORANG DENGAN

HIV DAN AIDS (ODHA)

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa kasus Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di

kalangan masyarakat khususnya masyarakat usia produktif

cenderung

potensial terhadap kesehatan masyarakat di Indonesia yang

dapat berdampak luas dan negatif bagi ketahanan bangsa

dan negara;

b. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan

bagi ODHA, perlu ditetapkan rumah sakit rujukan bagi ODHA;

c. bahwa meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS yang cukup

tinggi memerlukan jumlah rumah sakit rujukan ODHA yang

memadai di setiap propinsi;

d. bahwa

832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan Rumah Sakit

Rujukan bagi ODHA, dalam lampiran I telah ditetapkan

sejumlah 75 rumah sakit rujukan ODHA;

e. bahwa jumlah rumah sakit rujukan ODHA perlu ditambah

untuk memperluas akses layanan kesehatan bagi ODHA di

seluruh Indonesia

meningkat

sehingga

merupakan

ancaman

dalam

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Nomor

Mengingat

:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah

Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273);

1

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3495);

3. Undang-Undang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor

125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 tentang

Penanggulangan

Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3447);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai

Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

6. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,

Tugas,

Kementerian Negara Republik Indonesia;

7. Keputusan

Pembentukan Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS;

8. Peraturan

VIII/1989 tentang Jenis Penyakit Tertentu yang Dapat

Menimbulkan Wabah, Tata Cara Penyampaian Laporan dan

Tata Cara Penanggulangannya;

9. Keputusan Menteri Kesejahteraan Rakyat Nomor 9/KEP/1994

tentang

Indonesia;

10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/

X/2002 tentang Pedoman Penanggulangan HIV dan AIDS

dan Penyakit Menular Seksual;

11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1507/Menkes/SK/

X/2005 tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing

HIV dan AIDS Secara Sukarela (Voluntary Counselling and

Testing);

Nomor

32

Tahun

2004

tentang

Wabah

Penyakit

Menular

(Lembaran

Fungsi,

Susunan

Organisasi

dan

Tata

Kerja

Presiden

Nomor

36

Tahun

1994

tentang

Menteri

Kesehatan

Nomor

560/Menkes/Per/

Strategi

Nasional

Penanggulangan

AIDS

di

2

12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/

XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen

Kesehatan;

13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 832/Menkes/SK/X/2006

tentang Penetapan Rumah Sakit Rujukan bagi ODHA dan

Standar Rumah Sakit Rujukan ODHA dan Satelitnya

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

Kesatu

:

KEPUTUSAN

PENETAPAN

DENGAN HIV DAN AIDS (ODHA).

MENTERI

RUMAH

KESEHATAN

SAKIT

RUJUKAN

RI

TENTANG

BAGI

ORANG

Kedua

:

Daftar rumah sakit rujukan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS

(ODHA) sebagaimana dimaksud Diktum Pertama sebagaimana

tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.

Ketiga

:

Dalam memberikan pelayanan kesehatan rumah sakit rujukan

sebagaimana dimaksud Diktum Pertama mempunyai tugas

antara lain sebagai berikut:

1. Menyusun Standar Prosedur Operasional

2. Menjamin ketersediaan obat ARV yang secara langsung

didistribusikan oleh PT Kimia Farma (sesuai dengan prosedur

khusus yang berlaku) dan obat infeksi oportunistik tertentu.

3. Menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai

dengan pedoman.

4. Menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dokter ahli,

dokter/dokter gigi, perawat, apoteker, analis laboratorium,

konselor dan manajer kasus;

5. Membentuk tim kelompok kerja/pokja khusus HIV dan AIDS

yang terdiri dari tenaga medis dan non medis yang telah

dilatih melalui pelatihan khusus HIV dan AIDS.

3

6. Melaporkan pelaksanaan pemberian pelayanan bagi orang

dengan HIV dan AIDS

Keempat

:

Rumah sakit rujukan bertanggung jawab kepada Menteri

Kesehatan dan wajib menyampaikan laporan secara berkala

melalui Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik.

Kelima

:

Monitoring

pelayanan kesehatan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)

akan dilakukan oleh tim yang terdiri dari Direktorat Jenderal Bina

Pelayanan Medik, Direktorat Jendral P2 dan PL, dan stakeholder

terkait. Monitoring dan evaluasi ini dilakukan secara berkala (1

tahun sekali).

dan

evaluasi

sehubungan

dengan

pemberian

Keenam

:

Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan

ini dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi,

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan

tugasnya masing-masing.

Ketujuh

:

Rumah sakit rujukan wajib menyampaikan laporan secara

berkala kepada Menteri Kesehatan RI melalui Direktur Jenderal

Bina Pelayanan Medik.

Kedelapan

:

Hal-hal yang bersifat teknis selanjutnya diatur dengan Surat

Keputusan Dirjen Bina Pelayanan Medik.

4

Kesembilan :

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan

ketentuan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan akan

diadakan perbaikan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 27 Juni 2007

MENTERI KESEHATAN,

Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI Sp.JP(K)

Tembusan:
1. Komisi Penanggulangan HIV DAN AIDS Nasional di Jakarta
2. Para gubenur/ bupati /walikota setempat
3. Para Pejabat Eselon 1 di Departemen Kesehatan
4. Para Pejabat Eselon 2 terkait di Departemen Kesehatan

5

Lampiran I

Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor

Tanggal : ..................................

: ...................................

DAFTAR RUMAH SAKIT RUJUKAN BAGI ORANG DENGAN HIV DAN AIDS

No.

1.

Nanggroe Aceh

Darussalam

2.

Nanggroe Aceh

Darussalam

3.

Nanggroe Aceh

Darussalam

4.

Nanggroe Aceh

Darussalam

5.

Nanggroe Aceh

Darussalam

6.

Nanggroe Aceh

Darussalam

7.

Nanggroe Aceh

Darussalam

8.

Nanggroe Aceh

Darussalam

9.

Sumatera Utara

10.

Sumatera Utara

11.

Sumatera Utara

12.

Sumatera Utara

13.

Sumatera Utara

14.

Sumatera Utara

15.

Sumatera Utara

16.

Sumatera Utara

17.

Sumatera Utara

Propinsi

Kabupaten/Kota

Banda Aceh

Nama Rumah Sakit

RSU Dr. Zainoel Abidin

Aceh Timur

RSU Langsa

Aceh Utara

RSU Cut Meutia

Aceh Barat

RSU Cut Nyak Dhien

Aceh Tamiang

RSU Tamiang

Banda Aceh

RS Kodam I

Banda Aceh

RS Bhayangkara NAD

Pidie

RSU Sigli

Medan

Medan

Medan

Medan

Medan

Balige

Deli Serdang

Karo

Pematang Siantar

6

RSU H. Adam Malik

RSU Dr. Pirngadi

RS Bhayangkara Tk.II Sumut

RS Kesdam II Bukit Barisan

RS Haji Us Syifa Medan

RS HKBP Balige

RSU Lubuk Pakam

RS Kabanjahe

RSU Pematang Siantar

18.

Sumatera Barat

19.

Sumatera Barat

20.

Sumatera Barat

21.

Riau

22.

Riau

23.

Riau

24.

Riau

25.

Kepulauan Riau

26.

Kepulauan Riau

27.

Kepulauan Riau

28.

Kepulauan Riau

29.

Kepulauan Riau

30.

Kepulauan Riau

31.

Sumatera Selatan

32.

Sumatera Selatan

33.

Sumatera Selatan

34.

Sumatera Selatan

35.

Sumatera Selatan

36.

Sumatera Selatan

37.

Bengkulu

38.

Jambi

39.

Jambi

40.

Lampung

Padang

Bukittinggi

Padang Pariaman

Pekan Baru

Pekanbaru

Dumai

Indragiri Hilir

Batam

Batam

Batam

Karimun

Tanjung Pinang

Tanjung Pinang

Palembang

Palembang

Palembang

Palembang

Muara Enim

Ogan Komering Ulu

Bengkulu

Jambi

Tanjung Jabung
Barat

Bandar Lampung

41.

Lampung

42.

Lampung

43.

Lampung

44.

Bangka Belitung

45.

Bangka Belitung

46.

Bangka Belitung

47.

DKI Jakarta

48.

DKI Jakarta

Metro

Lampung Utara

Lampung Selatan

Bangka

Pangkal Pinang

Belitung

Jakarta Pusat

Jakarta Pusat

7

RSU Dr. M. Djamil

RSU Dr. Achmad Mochtar

RSUD Pariaman

RSU Pekan Baru

RS Jiwa Pusat Pekanbaru/RSJ
Tampan
RSU Dumai

RSU Puri Husada

RS Budi Kemuliaan

RS Otorita Batam

RS Awal Bros

RSU Kabupaten Karimun

RSU Tanjung Pinang

RSAL Dr. Midiyanto S.

RSU Dr. M.Hoesin Palembang

RS RK Charitas

RSJ Palembang

RSU Kota Palembang

RSU Prabumulih

RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja

RSU Dr. M. Yunus

RSU Raden Mattaher

RSU K.H. Daud Arif, Kualatungkal

RSU Dr.H. Abdoel Moeloek

Tanjung Karang

RS Ahmad Yani

RS H.M. Ryacudu

RS Pringsewu

RSU Sungai Liat

RSU Pangkal Pinang

RSU Tanjung Pandan

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

RSAL Dr. Mintoharjo

49.

DKI Jakarta

50.

DKI Jakarta

51.

DKI Jakarta

52.

DKI Jakarta

53.

DKI Jakarta

54.

DKI Jakarta

55.

DKI Jakarta

56.

DKI Jakarta

57.

DKI Jakarta

58.

DKI Jakarta

59.

DKI Jakarta

60.

DKI Jakarta

61.

DKI Jakarta

62.

DKI Jakarta

63.

DKI Jakarta

64.

DKI Jakarta

65.

DKI Jakarta

66.

Jawa Barat

67.

Jawa Barat

68.

Jawa Barat

69.

Jawa Barat

70.

Jawa Barat

71.

Jawa Barat

72.

Jawa Barat

73.

Jawa Barat

74.

Jawa Barat

75.

Jawa Barat

76.

Jawa Barat

77.

Jawa Barat

78.

Jawa Barat

79.

Jawa Barat

80.

Jawa Barat

81.

Jawa Barat

Jakarta Pusat

Jakarta Pusat

Jakarta Pusat

Jakarta Utara

Jakarta Utara

Jakarta Timur

Jakarta Timur

Jakarta Timur

Jakarta Timur

Jakarta Timur

Jakarta Barat

Jakarta Barat

Jakarta Barat

Jakarta Barat

Jakarta Selatan

Jakarta Selatan

Jakarta Selatan

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bogor

Bogor

Bogor

Bekasi

Bekasi

Sukabumi

Sukabumi

Ciamis

RSPAD Gatot Soebroto

RS Kramat 128

RS St. Carolus

RSPI Dr. Sulianti Saroso

RSU Koja

RSU Persahabatan

RSJ Duren Sawit

RS Kepolisian Pusat Dr. Soekanto

RSU Pasar Rebo

RSU Budhi Asih

RS Kanker Dharmais

RSAB Harapan Kita

RSUD Cengkareng

RSU Tarakan Jakarta

RSU Fatmawati

RS Ketergantungan Obat

RS FK UKI

RSUP Hasan Sadikin

RS St. Borromeus

RSU Cimahi

RS Ujung Berung

RS Bungsu

RS Paru Dr. H. Rotinsulu

RS Imanuel

RS Kebon Jati

RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi

RSUD Ciawi

RSU PMI Bogor

RSU Bekasi

RSU Ananda

RS Bhayangkara

RSU R. Sjamsudin

RSU Ciamis

8
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 760/MENKES/SK/VI/2007

TENTANG

PENETAPAN LANJUTAN RUMAH SAKIT RUJUKAN BAGI ORANG DENGAN

HIV DAN AIDS (ODHA)

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa kasus Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di

kalangan masyarakat khususnya masyarakat usia produktif

cenderung

potensial terhadap kesehatan masyarakat di Indonesia yang

dapat berdampak luas dan negatif bagi ketahanan bangsa

dan negara;

b. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan

bagi ODHA, perlu ditetapkan rumah sakit rujukan bagi ODHA;

c. bahwa meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS yang cukup

tinggi memerlukan jumlah rumah sakit rujukan ODHA yang

memadai di setiap propinsi;

d. bahwa

832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan Rumah Sakit

Rujukan bagi ODHA, dalam lampiran I telah ditetapkan

sejumlah 75 rumah sakit rujukan ODHA;

e. bahwa jumlah rumah sakit rujukan ODHA perlu ditambah

untuk memperluas akses layanan kesehatan bagi ODHA di

seluruh Indonesia

meningkat

sehingga

merupakan

ancaman

dalam

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Nomor

Mengingat

:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah

Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273);

1

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3495);

3. Undang-Undang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor

125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 tentang

Penanggulangan

Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3447);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai

Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

6. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,

Tugas,

Kementerian Negara Republik Indonesia;

7. Keputusan

Pembentukan Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS;

8. Peraturan

VIII/1989 tentang Jenis Penyakit Tertentu yang Dapat

Menimbulkan Wabah, Tata Cara Penyampaian Laporan dan

Tata Cara Penanggulangannya;

9. Keputusan Menteri Kesejahteraan Rakyat Nomor 9/KEP/1994

tentang

Indonesia;

10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/

X/2002 tentang Pedoman Penanggulangan HIV dan AIDS

dan Penyakit Menular Seksual;

11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1507/Menkes/SK/

X/2005 tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing

HIV dan AIDS Secara Sukarela (Voluntary Counselling and

Testing);

Nomor

32

Tahun

2004

tentang

Wabah

Penyakit

Menular

(Lembaran

Fungsi,

Susunan

Organisasi

dan

Tata

Kerja

Presiden

Nomor

36

Tahun

1994

tentang

Menteri

Kesehatan

Nomor

560/Menkes/Per/

Strategi

Nasional

Penanggulangan

AIDS

di

2

12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/

XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen

Kesehatan;

13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 832/Menkes/SK/X/2006

tentang Penetapan Rumah Sakit Rujukan bagi ODHA dan

Standar Rumah Sakit Rujukan ODHA dan Satelitnya

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

Kesatu

:

KEPUTUSAN

PENETAPAN

DENGAN HIV DAN AIDS (ODHA).

MENTERI

RUMAH

KESEHATAN

SAKIT

RUJUKAN

RI

TENTANG

BAGI

ORANG

Kedua

:

Daftar rumah sakit rujukan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS

(ODHA) sebagaimana dimaksud Diktum Pertama sebagaimana

tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.

Ketiga

:

Dalam memberikan pelayanan kesehatan rumah sakit rujukan

sebagaimana dimaksud Diktum Pertama mempunyai tugas

antara lain sebagai berikut:

1. Menyusun Standar Prosedur Operasional

2. Menjamin ketersediaan obat ARV yang secara langsung

didistribusikan oleh PT Kimia Farma (sesuai dengan prosedur

khusus yang berlaku) dan obat infeksi oportunistik tertentu.

3. Menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai

dengan pedoman.

4. Menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dokter ahli,

dokter/dokter gigi, perawat, apoteker, analis laboratorium,

konselor dan manajer kasus;

5. Membentuk tim kelompok kerja/pokja khusus HIV dan AIDS

yang terdiri dari tenaga medis dan non medis yang telah

dilatih melalui pelatihan khusus HIV dan AIDS.

3

6. Melaporkan pelaksanaan pemberian pelayanan bagi orang

dengan HIV dan AIDS

Keempat

:

Rumah sakit rujukan bertanggung jawab kepada Menteri

Kesehatan dan wajib menyampaikan laporan secara berkala

melalui Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik.

Kelima

:

Monitoring

pelayanan kesehatan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)

akan dilakukan oleh tim yang terdiri dari Direktorat Jenderal Bina

Pelayanan Medik, Direktorat Jendral P2 dan PL, dan stakeholder

terkait. Monitoring dan evaluasi ini dilakukan secara berkala (1

tahun sekali).

dan

evaluasi

sehubungan

dengan

pemberian

Keenam

:

Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan

ini dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi,

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan

tugasnya masing-masing.

Ketujuh

:

Rumah sakit rujukan wajib menyampaikan laporan secara

berkala kepada Menteri Kesehatan RI melalui Direktur Jenderal

Bina Pelayanan Medik.

Kedelapan

:

Hal-hal yang bersifat teknis selanjutnya diatur dengan Surat

Keputusan Dirjen Bina Pelayanan Medik.

4

Kesembilan :

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan

ketentuan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan akan

diadakan perbaikan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 27 Juni 2007

MENTERI KESEHATAN,

Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI Sp.JP(K)

Tembusan:
1. Komisi Penanggulangan HIV DAN AIDS Nasional di Jakarta
2. Para gubenur/ bupati /walikota setempat
3. Para Pejabat Eselon 1 di Departemen Kesehatan
4. Para Pejabat Eselon 2 terkait di Departemen Kesehatan

5

Lampiran I

Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor

Tanggal : ..................................

: ...................................

DAFTAR RUMAH SAKIT RUJUKAN BAGI ORANG DENGAN HIV DAN AIDS

No.

1.

Nanggroe Aceh

Darussalam

2.

Nanggroe Aceh

Darussalam

3.

Nanggroe Aceh

Darussalam

4.

Nanggroe Aceh

Darussalam

5.

Nanggroe Aceh

Darussalam

6.

Nanggroe Aceh

Darussalam

7.

Nanggroe Aceh

Darussalam

8.

Nanggroe Aceh

Darussalam

9.

Sumatera Utara

10.

Sumatera Utara

11.

Sumatera Utara

12.

Sumatera Utara

13.

Sumatera Utara

14.

Sumatera Utara

15.

Sumatera Utara

16.

Sumatera Utara

17.

Sumatera Utara

Propinsi

Kabupaten/Kota

Banda Aceh

Nama Rumah Sakit

RSU Dr. Zainoel Abidin

Aceh Timur

RSU Langsa

Aceh Utara

RSU Cut Meutia

Aceh Barat

RSU Cut Nyak Dhien

Aceh Tamiang

RSU Tamiang

Banda Aceh

RS Kodam I

Banda Aceh

RS Bhayangkara NAD

Pidie

RSU Sigli

Medan

Medan

Medan

Medan

Medan

Balige

Deli Serdang

Karo

Pematang Siantar

6

RSU H. Adam Malik

RSU Dr. Pirngadi

RS Bhayangkara Tk.II Sumut

RS Kesdam II Bukit Barisan

RS Haji Us Syifa Medan

RS HKBP Balige

RSU Lubuk Pakam

RS Kabanjahe

RSU Pematang Siantar

18.

Sumatera Barat

19.

Sumatera Barat

20.

Sumatera Barat

21.

Riau

22.

Riau

23.

Riau

24.

Riau

25.

Kepulauan Riau

26.

Kepulauan Riau

27.

Kepulauan Riau

28.

Kepulauan Riau

29.

Kepulauan Riau

30.

Kepulauan Riau

31.

Sumatera Selatan

32.

Sumatera Selatan

33.

Sumatera Selatan

34.

Sumatera Selatan

35.

Sumatera Selatan

36.

Sumatera Selatan

37.

Bengkulu

38.

Jambi

39.

Jambi

40.

Lampung

Padang

Bukittinggi

Padang Pariaman

Pekan Baru

Pekanbaru

Dumai

Indragiri Hilir

Batam

Batam

Batam

Karimun

Tanjung Pinang

Tanjung Pinang

Palembang

Palembang

Palembang

Palembang

Muara Enim

Ogan Komering Ulu

Bengkulu

Jambi

Tanjung Jabung
Barat

Bandar Lampung

41.

Lampung

42.

Lampung

43.

Lampung

44.

Bangka Belitung

45.

Bangka Belitung

46.

Bangka Belitung

47.

DKI Jakarta

48.

DKI Jakarta

Metro

Lampung Utara

Lampung Selatan

Bangka

Pangkal Pinang

Belitung

Jakarta Pusat

Jakarta Pusat

7

RSU Dr. M. Djamil

RSU Dr. Achmad Mochtar

RSUD Pariaman

RSU Pekan Baru

RS Jiwa Pusat Pekanbaru/RSJ
Tampan
RSU Dumai

RSU Puri Husada

RS Budi Kemuliaan

RS Otorita Batam

RS Awal Bros

RSU Kabupaten Karimun

RSU Tanjung Pinang

RSAL Dr. Midiyanto S.

RSU Dr. M.Hoesin Palembang

RS RK Charitas

RSJ Palembang

RSU Kota Palembang

RSU Prabumulih

RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja

RSU Dr. M. Yunus

RSU Raden Mattaher

RSU K.H. Daud Arif, Kualatungkal

RSU Dr.H. Abdoel Moeloek

Tanjung Karang

RS Ahmad Yani

RS H.M. Ryacudu

RS Pringsewu

RSU Sungai Liat

RSU Pangkal Pinang

RSU Tanjung Pandan

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

RSAL Dr. Mintoharjo

49.

DKI Jakarta

50.

DKI Jakarta

51.

DKI Jakarta

52.

DKI Jakarta

53.

DKI Jakarta

54.

DKI Jakarta

55.

DKI Jakarta

56.

DKI Jakarta

57.

DKI Jakarta

58.

DKI Jakarta

59.

DKI Jakarta

60.

DKI Jakarta

61.

DKI Jakarta

62.

DKI Jakarta

63.

DKI Jakarta

64.

DKI Jakarta

65.

DKI Jakarta

66.

Jawa Barat

67.

Jawa Barat

68.

Jawa Barat

69.

Jawa Barat

70.

Jawa Barat

71.

Jawa Barat

72.

Jawa Barat

73.

Jawa Barat

74.

Jawa Barat

75.

Jawa Barat

76.

Jawa Barat

77.

Jawa Barat

78.

Jawa Barat

79.

Jawa Barat

80.

Jawa Barat

81.

Jawa Barat

Jakarta Pusat

Jakarta Pusat

Jakarta Pusat

Jakarta Utara

Jakarta Utara

Jakarta Timur

Jakarta Timur

Jakarta Timur

Jakarta Timur

Jakarta Timur

Jakarta Barat

Jakarta Barat

Jakarta Barat

Jakarta Barat

Jakarta Selatan

Jakarta Selatan

Jakarta Selatan

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bandung

Bogor

Bogor

Bogor

Bekasi

Bekasi

Sukabumi

Sukabumi

Ciamis

RSPAD Gatot Soebroto

RS Kramat 128

RS St. Carolus

RSPI Dr. Sulianti Saroso

RSU Koja

RSU Persahabatan

RSJ Duren Sawit

RS Kepolisian Pusat Dr. Soekanto

RSU Pasar Rebo

RSU Budhi Asih

RS Kanker Dharmais

RSAB Harapan Kita

RSUD Cengkareng

RSU Tarakan Jakarta

RSU Fatmawati

RS Ketergantungan Obat

RS FK UKI

RSUP Hasan Sadikin

RS St. Borromeus

RSU Cimahi

RS Ujung Berung

RS Bungsu

RS Paru Dr. H. Rotinsulu

RS Imanuel

RS Kebon Jati

RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi

RSUD Ciawi

RSU PMI Bogor

RSU Bekasi

RSU Ananda

RS Bhayangkara

RSU R. Sjamsudin

RSU Ciamis

8

DAFTAR PERATURAN RUMAH SAKIT DI INDONESIA, 2010 Juni 2010

Penawaran
DAFTAR PERATURAN RUMAH SAKIT DI INDONESIA, 2010
Juni 2010

Pertumbuhan rumah sakit (RS) di Indonesia cukup tinggi dalam kurun sepuluh tahun ini. Namun,
pertumbuhan tersebut tidak berbanding lurus dengan kualitasnya. Dari 1.354 rumah sakit di Indonesia,
yang terakreditasi baru 534 unit RS atau sekitar 41,33 persen. Menurut Menteri Kesehatan Endang
Rahayu Sedyaningsih, pada 2001 jumlah RS pemerintah di Indonesia sebanyak 598 unit. Pada akhir
2008 sudah mencapai 655 unit. Demikian juga pertumbuhan RS swasta. Pada 2001 baru sebanyak 580
unit, namun pada akhir 2008 jumlahnya sudah menyalip RS pemerintah, yang mencapai 699 unit.

Hingga saat ini jumlah rumah sakit di Indonesia yang melakukan akreditasi belum mencapai 50%.
Pengelola RS baik RS pemerintah maupun swasta, masih enggan melaksanakannya. Sampai akhir 2009,
baru sekitar 41,33% atau 534 unit RS yang terakreditasi dari jumlah 1.334 unit RS di Indonesia. UU No
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tegas menyatakan seluruh rumah sakit wajib akreditasi yang
bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanannya.

Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) memperkirakan, layanan kesehatan akan bersaing
ketat setelah adanya China-ASEAN Free Trade Area. Dengan berlakunya ACFTA, maka akan semakin
banyak didirikan RS swasta dan membanjirnya dokter asing. Berdasarkan Data terbaru Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDM) Departemen
Kesehatan, jumlah dokter yang ada saat ini sekitar 11.865 orang, sedangkan perkiraan kebutuhan
dokter untuk seluruh wilayah Indonesia sebanyak 13.958 orang, berarti masih kekurangan tenaga
dokter sekitar 2.000 orang. Sementara itu, jumlah bidan yang ada di Indonesia mencapai 57.489 orang,
sedangkan kebutuhan tenaga tersebut 106.829 orang.

Pada tahun 2006, ada sekitar 385 item obat yang harga eceran tertingginya ditetapkan dan jumlahnya
terus bertambah hingga 453 item di tahun 2010. Khusus obat generik bermerek dagang, pemerintah
sebatas mengendalikan di fasilitas kesehatan pemerintah. Jika obat generik tidak tersedia, fasilitas
kesehatan pemerintah dapat menggunakan obat generik merek dagang dengan harga maksimal tiga
kali lipat harga obat generik dengan International Nonproprietary Name INN. Sedangkan saat ini,
terdapat sekitar 13.000 macam obat yang beredar di Indonesia. Obat generik bermerek dagang di
pasaran harganya dapat mencapai 12 kali lipat dari harga obat generik dengan nama (INN) untuk jenis
obat yang sama.

Ketersediaan obat generik rata-rata 12,8 bulan, padahal idealnya 18 bulan sehingga ketersediaan
terjamin saat proses pengadaan berlangsung. Di Indonesia Timur, ketersediaan obat rata-rata 10,4
bulan. Obat bisa berbulan-bulan kosong sampai pengadaan berikutnya. Ke depan, pemerintah tidak
hanya memikirkan penurunan harga obat serendah-rendahnya, tetapi juga keberlangsungan produksi
obat tersebut.

Di tengah persaingan dunia pengobatan saat ini, setiap manajemen rumah sakit perlu mengetahui dan
memahami berbagai peraturan yang berlaku. Untuk itu, PT Media Data Riset berusaha membantu para
stakeholders kesehatan dengan menyediakan Kumpulan Peraturan Rumah Sakit dan Kesehatan di
Indonesia.

Daftar Peraturan Rumah Sakit di Indonesia 2010 ini, disusun dalam bentuk buku setebal 500 halaman
dan kami tawarkan seharga Rp 4.000.000 (empat juta rupiah) per-copy untuk versi Bahasa Indonesia.
Untuk pemesanan dan informasi lebih lanjut dapat menghubungi PT Media Data Riset melalui
Telepon (021) 809-6071, Fax (021) 809-6071, atau email : info@mediadata.co.id. Formulir pemesanan
kami lampirkan bersama penawaran ini.

Jakarta, Juni 2010
PT Media Data Riset

Drh. H. Daddy Kusdriana M.Si
Direktur Utama

Daftar Isi
DAFTAR PERATURAN RUMAH SAKIT DI INDONESIA, 2010
Juni 2010

1. PEDAHULUAN
2. PERKEMBANGAN RUMAH SAKIT
2.1. Perkembangan Jumlah Rumah Sakit
2.1.1. Rumah Sakit berdiri di tahun
2008
2.1.2. Rasio jumlah tempat tidur RS,
2005- 2008
2.2. Peranan Rumah Sakit Pemerintah
2.3. Keberadaan Rumah Sakit Masih
Terkonsentrasi di Pulau Jawa
2.4. Anggaran Bidang Kesehatan 2008–
2010
2.5. Rumah Sakit Swasta
2.5.1. Rumah Sakit Swasta Minta
Keringanan
2.5.2. Perlukan Intervensi Pemerintah
dalam Menyiapkan RS Swasta
2.6. RS Berstandar Internasional
2.7. Keberadaan Dokter di Indonesia
2.8. Obat Generik
2.8.1. Penyesuaian Harga Obat
Generik 2010
2.8.2. Produsen obat generik
2.8.3. Potensi Pasar Obat
2.8.4. Pasar Obat 2010
2.8.5. Obat Askes

3. DAFTAR PERATURAN RUMAH SAKIT

3.1. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan

3.2. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit

3.3. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran

3.4. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika

3.5. Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen

3.6. Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2009
Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Kesehatan

3.7. Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2010 Tentang
Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010

3.8. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor:
1152/Menkes/SK/XI/2009
Tentang
Petunjuk Teknis Penggunaan Dana
Alokasi Khusus (DAK) Bidang
Kesehatan Tahun Anggaran 2010

3.9

Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.02.02/MENKES/068/I/2010
Tentang Kewajiban Menggunakan
Obat Generik Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Pemerintah

3.10. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.03.01/Menkes/146/I/2010 Tentang
Harga Obat Generik

3.11. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
HK03.01/MENKES/159/I/2010
Tentang Pedoman Pembinaan Dan
Pengawasan
Penggunaan
Obat
Generik Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Pemerintah

3.12. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor:
510/MENKES/SK/IV/2010
Tentang
Pedoman Harga Pengadaan Obat
Anti Tuberkulosis – FDC Tahun 2010

3.13. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
161/MENKES/PER/I/2010
Tentang
Registrasi Tenaga Kesehatan

3.14. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
299/MENKES/PER/II/2010
Tentang
Penyelenggaraan Program Internsip
Dan Penempatan Dokter Pasca
Internsip
3.15. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
317/MENKES/PER/III/2010 Tentang
Pendayagunaan Tenaga Kesehatan
Warga Negara Asing Di Indonesia

3.16. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor:
659/MENKES/PER/VIII/2009 Tentang
Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia.

3.17. Keputusan Menteri Keuangan Nomor
4/KMK.05/2010 Tentang Penetapan
Rumah
Sakit
Kusta
Sitanala
Tangerang
Pada
Departemen
Kesehatan
Sebagai
Instansi
Pemerintah
Yang
Menerapkan
Pengelolaan
Keuangan
Badan
Layanan Umum

3.18. Keputusan Menteri Keuangan Nomor
226/KMK.05/2009 Tentang Penetapan
Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan
Partowidigdo Cisarua Bogor Pada
departemen
Kesehatan
Sebagai
Instansi
Pemerintah
Yang
Menerapkan Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum

3.19. Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008
Tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang
Kesehatan
Di
Kabupaten/Kota

3.20. Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 TAHUN 2002 Tentang
Pedoman Susunan Organisasi Dan
Tata Kerja Rumah Sakit Daerah

3.21. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
560/MENKES/SK/IV/2003
Tentang
Pola Tarif Perjan Rumah Sakit

3.22. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1173/MENKES/PER/X/2004 Tentang
Rumah Sakit Gigi Dan Mulut

3.23. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004
Tentang

Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah
Sakit

3.24. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor:
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang
Rekam Medis

3.25. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
780/MENKES/PER/VIII/2008
Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Radiologi

3.26. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
512/MENKES/PER/IV/2007 Tentang
Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran

3.27. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1419/MENKES/PER/X/2005 Tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter Dan
Dokter Gigi

3.28. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
101/PMK.04/2007
Tentang
Pembebasan Bea Masuk Atas Impor
Peralatan
Dan
Bahan
Yang
Digunakan
Untuk
Mencegah
Pencemaran Lingkungan

3.29. Keputusan Kepala Badan Pengawas
Obat
Dan
Makanan
Republik
Indonesia Nomor : PO.01.01.31.03660
Tentang
Pengaturan
Khusus
Penyaluran
Dan
Penyerahan
Buprenorfin

3.30. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1202/Menkes/SK/VIII/2003 Tentang
Indikator Indonesia Sehat 2010 Dan
Pedoman
Penetapan
Indikator
Provinsi Sehat Dan Kabupaten/Kota
Sehat

3.31. Keputusan Menteri Keuangan Nomor
:796/KMK.04/1993,Tanggal 20/08/1993
Tentang Pengenaan Pajak Bumi Dan
Bangunan Atas Rumah Sakit Swasta

***

ABORTUS


a. Abortus imminens
(Penyakit atau Kelaninan ABORTUS pada Ibu Hamil)  – Tanda dan gejala:
a. Perdarahan vagina: merah segar atau coklat
b. Jumlah perdarahan sedikit/ perdarahan bercak
c. Dapat terjadi terus menerus untuk beberapa hari sampai 2 minggu
d. Kram abdomen bagian bawah atau sakit punggung normal

Manajemen
a. Trimester I dengan sedikit perdarahan, tanpa disertai kram
1) Tirah baring tidak terlalu bermanfaat; aktivitas normal dapat dilanjutkan kembali kecuali wanita merasa tidak nyaman atau lebih memilih untuk istirahat
2) Istirahatkan panggul (tidak berhubungan seksual, tidak melakukan irigasi, atau memasukkan sesuatu ke vagina)
3) Tidak melakukan aktivitas seksual yang menimbulkan orgasme
4) Segera beritahu bidan jika terdapat :
• Perdarahan meningkat
• Kram dan nyeri pinggang meningkat
• Semburan cairan dari vagina
• Demam atau gejala mirip flu
5) Periksakan pada hari berikutnya di rumah sakit
• Evaluasi tanda-tanda vital
• Pemeriksaan dengan speculum-merupakan skrining vaginitis dan servisitis; observasi bukaan serviks, tonjolan kantong ketuban, bekuan darah, atau bagian-bagian janin
• Pemeriksaan bimanual-ukuran uterus, dilatasi, nyeri tekan, effacement, serta kondisi ketuban. Dapatkan nilai hemoglobin dan hematokrit, jenis dan Rh (jika belum ada)
b. Jika pemeriksaan negative, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasuara untuk menentukan kelangsungan hidup janin, tanggal kelahiran, dan jika mungkin untuk menenangkan wanita
c. Jika pemeriksaan fisik dan ultrasuara negatif, tenangkan wanita, kaji ulang gejala bahaya dan pertahankan nilai normal
d. Konsultasi ke dokter jika terjadi perdarahan hebat, kram meningkat, atau hasil pemeriksaan fisik dan ultrasuara menunjukan hasil abnormal
b. Abortus Insipiens
Keguguran membakat ini tidak dapat dihentikan, karena setiap saat dapat terjadi ancaman perdarahan dan pengeluaran hasil konsepsi. Abortus ditandai dengan:
a. Perdarahan lebih banyak
b. Perut mules (sakit) lebih hebat
c. Pada pemeriksaan dijumpai perdarahan lebih banyak, kanalis servikalis terbuka dan jaringan/hasil konsepsi dapat teraba
Penanganan
1. Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi uterus dengan Aspirasi Vakum Manual (AVM). Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan:
a) Berikan ergometrin 0,2 mg I.M (dapat diulang sesudah 15 menit jika perlu) atau misoprostol 400 mcg per oral (dapat diulang sesudah 4 jam jika perlu)
b) Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus
2. Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
a) Tunggu ekspulsi spontan hasil konsepsi, kemudian evakuasi sisa-sisa hasil konsepsi
b) Jika perlu, lakukan infus 20 unit oksitosin dalam 500 ml cairan I.V (garam fisiologik atau larutan Ringer Laktat) dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu ekspulsi hasil konsepsi
3. Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan
c. Abortus Inkomplit
Ditandai dengan dikeluarkannya sebagian hasil konsepsi dari uterus.
Gejala klinis yang dapat terjadi:
1) Perdarahan berlangsung terus
2) Perdarahan mendadak
3) Disertai infeksi dengan suhu tinggi
4) Dapat terjadi degenerasi ganas (korio karsinoma)
Pada pemeriksaan dijumpai gambaran:
1) Kanalis servikalis terbuka
2) Dapat diraba jaringan dalam rahim atau dikanalis servikalis
3) Kanalis servikalis tertutup dan perdarahan berlangsung terus
4) Dengan pemeriksaan sonde perdarahan bertambah
Penanganan
1) Jika perdarahan tidak terlalu banyak dan kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika perdarahan berhenti, beri ergometrin 0,2 mg I.M atau misoprostol 400 mcg per oral
2) Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi sisa hasil konsepsi dengan:
• Aspirasi Vakum Manual (AVM), kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan jika aspirasi vakum manual tidak tersedia.
• Jika evakuasi belum dapat dilakukan segera, beri ergometrin 0,2 mg I.M (diulangi setelah 15 menit jika perlu) atau misoprostol 400 mcg per oral (dapat diulangi setelah 4 jam jika perlu)
3) Jika kehamilan lebih dari 16 minggu:
• Berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml cairan I.V (garam fisiologik atau Ringer Laktat) dengan kecepatan 40 tetes/menit sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi
• Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg pervaginam setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg)
• Evakuasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus.
4) Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.
d. Abortus Komplit
Seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan, sehingga tidak memerlukan tindakan. Gambaran klinisnya adalah uterus mengecil, perdarahan sedikit, dan kanalis telah tertutup.
Penanganan:
• Tidak perlu evakuasi lagi
• Observasi untuk melihat adanya perdarahan banyak
• Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan
• Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferrosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah
• Konseling asuhan pascakeguguran dan pemantauan lanjut


APA BLOG INI CUKUP MEMBANTU ANDA?