Cari

PROFIL

Foto saya
DLM HIDUP BANYAK COBAAN MENGHADANG. DLM HTI: "YA ALLAH BANTU Q HDAPI SEMUA INI N TABAHKANLAH HATI INI". SESULIT APA PUN HIDUP INI JANGAN PERNAH MENYERAH DLM SETIAP COBAAN PASTI ADA HIKMAH DIDALAMNYA. KARENA ITU ---->BERUSAHA DAN BERDOALAH CZ -BERUSAHA TANPA DOA SOMBONG- DOA TANPA USAHA BOHONG- OPTIMIS PASTI BISA!

Selasa, 16 November 2010

JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT SALAH SATU CARA MENSEJAHTEKARAN RAKYAT

1. A. Pendahuluan

Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 2003) dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003).

Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan kesehatan terutama yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya diakibatkan perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket). Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket semakin mempersulit masyarakat untuk melakukan akses ke palayanan kesehatan.

Selama ini dari aspek pengaturan masalah kesehatan baru di atur dalam tataran Undang-Undang dan peraturan yang ada dibawahnya, tetapi sejak Amandemen UUD 1945 perubahan ke dua dalam Pasal 28H Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Amandemen UUD 1945 perubahan ke tiga Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.

Untuk memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan fasilitas kesehatan sebagai amanat UUD 1945 serta kesehatan adalah merupakan kesehatan merupakan Public Good maka dibutuhkan intervensi dari Pemerintah.




1. B. Jaminan Kesehatan Masyarakat


Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, krisis moneter yang terjadi sekitar tahun 1997 telah memberikan andil meningkatkan biaya kesehatan berlipat ganda, sehingga menekan akses penduduk, terutama penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan. Hambatan utama pelayanan kesehatan masyarakat miskin adalah masalah pembiayaan kesehatan dan transportasi. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan pelayanan kesehatan yang mendorong peningkatan biaya kesehatan, diantaranya perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket, dan subsidi pemerintah untuk semua lini pelayanan, disamping inflasi di bidang kesehatan yang melebihi sektor lain.



Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun 1998 Pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dimulai dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) tahun 1998 – 2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001 dan Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Tahun 2002-2004. Program-program tersebut diatas berbasis pada ‘provider’ kesehatan (supply oriented), dimana dana disalurkan langsung ke Puskesmas dan Rumah Sakit. Provider kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit) berfungsi ganda yaitu sebagai pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan juga mengelola pembiayaan atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Kondisi seperti ini menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya defisit di beberapa Rumah Sakit dan sebaliknya dana yang berlebih di Puskesmas, juga menimbulkan fungsi ganda pada PPK yang harus berperan sebagai ‘Payer’ sekaligus ‘Provider’.

Dengan di Undangkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan perubahan yang mendasar bagi perasuransian di Indonesia khusunya Asuransi Sosial dimana salah satu program jaminan sosial adalah jaminan kesehatan. Dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 dinayatakan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan agar peserta memperolah manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dasar, hal ini merupakan salah satu bentuk atau cara agar masyarakat dapat dengan mudah melakukan akses ke fasilitas kesehatan atau mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun demikian undang-Undang tersebut belum dapat di implementasikan mengingat aturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden sampai dengan saat ini belum satupun diundangkan kecuali Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Belum dapat diimplementasikannya Undang– Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional semakin membuat kelompok masyarakat tertentu yaitu masyarakat miskin dan tidak mampu sulit untuk mendapatkan pelayanan.



Sejak awal agenda 100 hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid satu telah berupaya untuk mengatasi hambatan dan kendala terkait dengan pelayanan kesehatan khusunya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yaitu kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan kepada PT Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes /SK/XI/2004, tentang penugasan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dengan nama Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN). PT Askes (Persero) dalam pengelolaan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN) didasarkan pada Undang-Undang Nomor ........ tentang Badan Umum Milik Negara dimana dalam Pasal ...... dinyatakan bahwa ................



Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dengan mana program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mengacu pada prinsip-prinsip asuransi sosial:


1. Dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu.

2. Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost effective dan rasional.

3. Pelayanan Terstruktur, berjenjang dengan Portabilitas dan ekuitas.

4. Transparan dan akuntabel.




Pada semester I tahun 2005, penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin dikelola sepenuhnya oleh PT Askes (Persero) meliputi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS dengan sasaran sejumlah 36.146.700 jiwa sesuai data BPS tahun 2004. Dalam perjalanannya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di semester I tahun 2005, ditemukan permasalahan yang utama yaitu perbedaan data jumlah masyarakat miskin BPS dengan data jumlah masyarakat miskin di setiap daerah disertai beberapa permasalahan lainnya antara lain: program belum tersosialisasi dengan baik, penyebaran kartu peserta belum merata, keterbatasan sumber daya manusia PT Askes (Persero) di lapangan, minimnya biaya operasional dan manajemen di Puskesmas, kurang aktifnya Posyandu dan lain-lain.



Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka pada semester II tahun 2005, mekanisme penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin diubah. Untuk pembiayaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya disalurkan langsung ke Puskemas melalui bank BRI. PT Askes (Persero) hanya mengelola pelayanan kesehatan rujukan bagi masyarakat miskin di Rumah Sakit (RS). Disamping itu sasaran program disesuaikan menjadi 60.000.000 jiwa.



Berdasarkan pengalaman-pengalaman pelayanan kesehatan di masa lalu dan upaya untuk mewujudkan sistem pembiayaan yang efektif dan efisien masih perlu diterapkan mekanisme jaminan kesehatan yang berbasis asuransi sosial. Penyelenggaraan program ini melibatkan beberapa pihak yaitu Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan), Pemerintah Daerah, Pengelola Jaminan Kesehatan (PT.Askes (Persero)), dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yaitu Puskesmas dan Rumah Sakit dimana masing-masing pihak memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan tujuan yang sama yaitu mewujudkan pelayanan kesehatan dengan biaya dan mutu yang terkendali.



Berlandaskan pada upaya pengembangan sistem jaminan tersebut pada tahun 2006, penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang meliputi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di Rumah Sakit dikelola sepenuhnya melalui mekanisme asuransi sosial oleh PT Askes (Persero).

Dengan pertimbangan pengendalian biaya pelayanan kesehatan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabiltas, serta mengingat keterbatasan pendanaan, dilakukan perubahan pengelolaan program Askeskin pada tahun 2008, dengan memisahkan fungsi pengelolaan dengan fungsi pembayaraan dengan didukung penempatan tenaga verifikator di setiap Rumah Sakit. Selain itu mulai di berlakukannya Tarif Paket Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di Rumah Sakit dengan nama program berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS). Peserta Jamkesmas telah dibagi dalam bentuk Kuota disetiap Kabupaten/Kota berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2006. kuota tersebut menimbulkan persoalan mengingat masih banyak masyarakat miskin di Kabupaten/Kota yang tidak masuk/menjadi peserta Jamkesmas sementara kebijakan Jamkemas adalah bagi masyarakat miskin diluar Kuota yang ditetapkan maka menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah

Program ini telah berjalan memasuki tahun ke–5 (lima) dan telah banyak hasil yang dicapai terbukti dengan terjadinya kenaikan yang luar biasa dari pemanfaatan program ini dari tahun ke tahun oleh masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dan pemerintah telah meningkatkan jumlah masyarakat yang dijamin maupun pendanaannya. Pelaksanaan Jamkesmas 2009 merupakan kelanjutan pelaksanaan Jamkesmas 2008 dengan penyempurnaan dan peningkatan yang mencakup aspek kepesertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan, organisasi dan manajemen. Untuk aspek kepesertaan, Jamkesmas mencakup 76,4 juta jiwa dengan dilakukan updating peserta Jamkesmas di Kabupaten/Kota, optimalisasi data masyarakat miskin, termasuk gelandangan, pengemis, anak terlantar dan masyarakat miskin tanpa identitas. Peningkatan peran pemerintah daerah dalam berkontribusi terhadap masyarakat miskin di luar kuota. Dalam program ini, masih melibatkan PT Askes (Persero) yaitu melaksanakan tugas dalam manajemen kepesertaan Jamkesmas, Dilakukan peningkatan pelayanan kesehatan dan penerapan sistem Indonesian Diagnosis Related Group (INA–DRG) dalam upaya kendali biaya dan kendali mutu pada seluruh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) lanjutan sejak 1 Januari 2009.

Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu selanjutnya disebut peserta Jamkesmas, sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes) sesuai SK Menkes Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 yang telah ditetapkan nomor, nama dan alamatnya melalui SK Bupati/Walikota tentang penetapan peserta Jamkesmas serta gelandangan, pengemis, anak terlantar, masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas, pasien sakit jiwa kronis, penyakit kusta dan sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang belum menjadi peserta Jamkesmas.

Apabila masih terdapat masyarakat miskin yang tidak terdapat dalam kuota Jamkesmas, pembiayaan kesehatannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat dan mekanisme pengelolaannya mengikuti model Jamkesmas, hal tersebut dimaksudkan agar semua masyarakat miskin terlindungi jaminan kesehatan dan dimasa yang akan datang dapat dicapai universal coverage. Sampai saat ini masyarakat yang sudah ada jaminan kesehatan baru mencapai 50,8% dari kurang labih 230 juta jiwa penduduk, hal tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:



KONDISI PENCAPAIAN TARGET JAMINAN KESEHATAN

SAMPAI TAHUN 2009













































Jenis Jaminan



Jumlah (Juta)


Askes Sosial (PNS)



14,9


Askes Komersial



2,2


Jamsostek



3,9


ASABRI



2,0


Asuransi Lain



6.6


Jamkesmas



76,4


Jamkesmas Daerah



10,8


Jumlah / Total



116,8


Persentase thd Penduduk (tahun 2009 = 230 jt)



50.8%


Sumber : Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan



Pada tahun 2014 Pusat Jaminan dan Pembiayaan Kesehatan diharapkan sudah terjadi universal coverage untuk itu strategi yang perlu dibangun dalam rangka universal coverage adalah :


1. Peningkatan cakupan peserta Pemda (Pemda)

2. Peningkatan cakupan peserta pekerja formal (formal)

3. Peningkatan cakupan peserta pekerja informal (in-formal)

4. Peningkatan cakupan peserta individual (individu)




Peningkatan cakupan dalam rangka universal coverage tidak mungkin dilakukan dilakukan secara bertahap dengan strategi sebagaimana dalam tabel sebagai berikut :



PENTAHAPAN

UNIVERSAL COVERAGE 2014





Sumber : Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan

Untuk mencapai Universal Coverage pada tahun 2014 maka perlu ada sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hal yang paling penting dalam mensinegikan jaminan kesehatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah masalah pembiayaan. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdapat dalam Keputusan Bupati/Walikota akan dibiayai dari APBN, Masyarakat miskin dan tidak mampu diluar kuota ditanggung oleh Pemerintah Daerah dengan sumber biaya dari APBD, Kelompok Pekerja dibiayai dari institusi masing-masing ( PNS, ASABRI, JAMSOSTEK) dan kelompok individu (kaya dan sangat kaya) membiayai diri sendiri dengan asuransi kesehatan komersial atau asuransi kesehatan lainnya. Untuk itu skenario dalam pembiayaan jaminan kesehatan dalam rangka universal coverage dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut :



SINERGI PUSAT DAN DAERAH DALAM RANGKA

MENUJU UNIVERSAL COVERAGE




















Sumber : Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan

Sampai saat ini sudah banyak Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan menyediakan dana melalui APBD dalam rangka memberikan jamianan kesehatan bagi masyarakatnya diluar kuota Jamkesmas. Namun pelaksanaanya antara pemerintah daerah yang satu dengan pemerintah daerah yang lain berbeda-beda, sampai saat ini sekurang-kurangnya ada dua nama program dalam pelayanan kesehatan di daerah yaitu Jaminan Kesehatan Daerah dengan Bapel dan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk semua penduduk.


1. C. JAMINAN KESEHATAN DAERAH


Bagi Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan, maka masyarakat miskin diluar kuota Jamkesmas pelayanan kesehatannya di tanggung oleh Pemerintah daerah yang penyelenggaraanya berbeda-beda. Pertanyaan yang harus terjawab adalah “ Dapatkah uang yang disediakan Pemerintah Daerah dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip asuransi sosial seperti Jamkesmas dengan nama Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA)”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut :


1. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 22H dinyatakan bahwa daerah mempunyai kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial. Dengan demikian maka Pemerintah Daerah diwajibkan mengembangkan sistem jaminan sosial yang didalamnya adalah termasuk jaminan kesehatan.

2. Keputusan Mahkamah Konsititusi dalam Judicial Review pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 diputuskan bahwa :

1. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (1) tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara Jaminan Sosial Nasional tingkat Nasional yang berada dipusat.

2. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 karena materi yang terkandung didalamnya telah tertampung dalam Pasal 52 yang apabila diertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum.

3. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (2) walaupun tidak dimohonkan dalam potitum namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3) sehingga jika dipertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum.

4. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 52yang dimohonkan tidak cukup beralasan.



Menyatakan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.


1. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota, dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut pada huruf B tentang pembagian urusan pemerintahan Bidang Kesehatan dalam sub bidang pembiayaan kesehatan Pemerintahan Daerah Provinsi mempunyai kewenangan melakukan 1). Pengelolaan/penyelenggaraan, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi, 2). Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional ( tugas perbantuan). Sementara Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan melakukan 1). Pengelolaan/penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sesuai dengan kondisi lokal, 2). Menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional ( tugas perbantuan).


Dari tigal hal tersebut diatas maka Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Daerah. Namun demikian agar dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan mengikat maka perlu diatur dengan Peraturan Daerah. Substansi materi pokok yang perlu diatur dalam Peraturan Daerah tersebut adalah :


1. Peserta dan Kepesertaan :


Dalam Bab ini muatan materi yang perlu diatur adalah hal-hal sebagai berikut :


1. Siapa yang akan menjadi peserta dalam Jamkesda Selatan. Apakah seluruh masyarakat atau hanya masyarakat miskin saja, bagaimana dengan masyarakat yang selama ini sudah memegang premi atau dijamin dengan jaminan kesehatan lain, apakah tetap menjadi peserta dalam Jaminan Kesehatan ini. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Jaminan Kesehatan ada Jaminan Kesehatan bagi PNS, JAMSOSTEK, ASABRI dan Asuransi Komersial Lainnya.

2. Bagaimana mekanisme pendaftaranya

3. Apa bukti/tanda bahwa seseorang adalah sebagai peserta Jamkesda (apakah cukup dengan KTP atau ada bukti khusus)

4. Apakah perlu dilakukan klasifikasi terhadap peserta Jaminan Kesehatan ( masyarakat miskin, masyarakat mampu, masyarakat kaya dengan iur biaya).

5. Apa saja hak dan kewajiban dari Peserta

6. Apakah masyarakat diluar Kabupaten/Kota, boleh menjadi peserta Jamkesda.

7. Pembiayaan :


Dalam Bab Pembiayaan hal –hal yang perludiperhatikan atau yang perlu diatur dalam BAB ini adalah :


1. Premi akan dibayar oleh siapa ( Apakan akan dibayar oleh Pemda) atau peserta tetap akan dikenakan iur biaya

2. Apakah iur biaya akan dipungut pada saat pelayanan kesehatan atau diawal pada saat menjadi peserta.

3. Berapa besaran premi, besaran premi akan menggambarkan manfaat atau pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta .





1. Bagaimana tatacara pembayaran kepada PPK setelah melakukan pelayanan kesehatan terhadap peserta Jamkesda.

2. Pelayanan :


Hal- Hal yang perlu diatur dalam Bab ini adalah sebagai berikut :


1. Apakah semua jenis pelayanan akan ditanggung oleh jaminan kesehatan ini.

2. Bagaimana dengan system rujukan

3. Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) mana saja yang boleh memberikan pelayanan, apakah hanya Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah saja atau semua fasilitas boleh melayani peserta Jamkesda .

4. Bagaimana dengan peserta yang dirawat di PPK di luar wilayah Pemerintah Kabupaten/Kota. ( Bagaimana dengan Portabilitas)

5. Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah (BAPEL) /Pengorganisasian


Badan Penyelenggaran Jaminan Kesehatan Daerah tersebut mempunyai peranan yang penting dalam penyelenggaraan Jamkesda, untuk itu hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Bab tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Kesehatan adalah sebagai berikut :


1. Apa tugas pokok dan fungsi dari Bapel tersebut.

2. Apakah Bapel tersebut merupakan UPTD atau LTD dari Pemeritah Daerah atau suatu Badan yang independent.

3. Apakah UPTD atau LTD tersebut secara bertahap akan menjadi PK-BLU atau PK- BLUD.

4. Siapa saja yang boleh duduk dalam Bapel dan bagaimana system penggajiannya.

5. D. Kesejahteraan diwujudkan melalui Jamkesmas


Perlunya dibentuk Pemerintah Republik Indonesia adalah dalam rangka untuk menciptakan “Law and Order” (ketentraman dan ketertiban) dan untuk menciptakan “welfare” (Kesejahteraan), hal tersebut dapat dilihat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia ke IV “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…. dst.

Salah satu unsur kesejahteraan adalah kesehatan, sehingga pembentuk Pemerintah Republik Indonesia sudah menganggap begitu pentingnya masalah kesehatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang diselenggarakan Pemerintah Daerah yang tujuannya adalah meningkatkan akses masyarakat khususnya masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, maka pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah telah melaksanakan sebagian dari tujuan dibentuknya suatu Pemerintah Republik Indonesia yaitu dalam rangka untuk menciptakan “Law and Order” (ketentraman dan ketertiban) dan untuk menciptakan “welfare” (Kesejahteraan) dimana salah satu unsur kesejahteraan adalah kesehatan.

MAL PRAKTEK DOKTER MENURUT HUKUM

Latar belakang masalah
Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan dokter gigi, maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini sering kali diidentikan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter dan dokter gigi. Sebaiknya apabila tindakan medis yang dilakukan dapat berhasil berkelebihan, padahal dokter dan dokter gigi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hanya berupaya untuk menyembuhkan, dan kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan tindakan.
Setiap penyelenggara praktik kedokteran, kegagalannya dianggap suatu mal praktik kedokteran, yang menuntut pertanggungjawaban dokter dan dokter gigi. Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertayaannya, apakah yang dimaksud dengan malpraktik? Apakah mal praktik dikenal dalam sistem hukum positif serta malpraktil diatur dimana saja?
Pembahasan
Malpraktik bila diartikan berdasarkan arti kata berasal dari kata “malpractice” atau “bad practice” yang berarti dalam tatanan bahasa Indonesia yaitu praktik yang jelek atau buruk.
Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3 aspek/hal:
1. Intensional Professional Misconduct, yaitu bahwa seorang dokter atau dokter gigi dinyatakan bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan sengaja. Dokter yang berpraktik dengan tidak mengindahkan standar-standar dalam aturan yang ada dan tidak ada unsur kealpaan/kelalaian. Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu atau tidak sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan pemeriksaan. Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang. Seorang dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis (illegal).
2. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien. Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik, namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu tapi tidak sempurna.
3. Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter cardiofaskuler melakukan operasi tulang.
Ketiga hal tersebut diatas itulah berdasarkan teori masuk kategori malpratik namun bagaimana secara yuridis atau aturan hukum positif kita. Dalam undang-undang kesehatan maupun dalam undang-undang praktik kedokteran tidak ada satu kata pun yang menyebut kata malpraktik. Pada undang-undang kesehatan menyebut kesalahan/kelalaian yang dilakukan dokter atau doker gigi dan dalam undang-undang praktik kedokteran menyebut kata kesalahan saja. Begitu pula dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun kitab undang-undang hukum perdata hanya menyebut kata kesalahan dan kelalaian.
Bilamana kita menelaah dan mengkaji tentang malpraktik dalam hukum positif kita, maka dapatlah dikatakan bahwa malpraktik yang dimaksud itu adalah perbuatan-perbuatan yang jelek atau buruk yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang dikarenakan karena adanya kesalahan atau kelalaian oleh dokter atau dokter gigi yang berakibat cacatnya pasien atau matinya pasien ataupun akibat lain terhadap pasien.
Kesimpulan
Secara teoritis ada tiga kategori malpraktik dokter, yaitu: Intensional professional misconduct, negligence, dan lack of skill. Istilah malpraktik tidak dikenal dalam sistem hukum positif Indonesia, namun dalam undang-undang atau dalam hukum positif dikenal dengan istilah kesalahan dan kelalaian.

Daftar Pustaka
• Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
• Abdul gani, Mal Praktik ditinjau Dari Segi ilmu Hukum, Makalah, Denpasar, 1987
• Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, Airlangga Universitas, Press, Surabaya, 1984.
• Sabir Alwy, Mal praktikdi Rumah Sakit, Makalah, Jakarta, 2006.

LEGALITAS PENDIRIAN RUMAH SAKIT SWASTA



PENGANTAR
Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk rumah sakit) dalam rangka peningkatan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, selain merupakan tangung jawab Pemerintah juga merupakan hak bagi masyarakat untuk ikut berperan serta. Meskipun masyarakat berhak untuk ikut berperan serta secara nyata seperti mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit, tidaklah berarti bahwa masyarakat diperbolehkan dengan sewenang-wenang atau semau-maunya untuk mendirikan dan menyelenggarakannya.
Pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan dan penguasa negara berkewajiban untuk selalu menciptakan dan memelihara ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Dan sebagai negara hukum, setiap bentuk kegiatan yang dilakukan baik oleh Pemerintah sendiri maupun oleh masyarakat harus memperhatikan ketentuan yang berlaku. Berbagai faktor dan aspek yang terkait dengan akibat dari pendirian dan penyelenggaraan suatu kegiatan perlu diperhatikan, dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan baik agar tidak menimbulkan kerugian baik kepada manusia maupun kepada lingkungan hidup sekitarnya. Untuk itu masyarakat harus tunduk dan patuh pada ketentuan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang diatur oleh Pemerintah. Dengan demikian untuk melakukan kegiatan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit harus mengikuti prosedur perizinan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

PENGERTIAN PERIZINAN
Mendapatkan pemahaman tentang perizinan secara komprehensif janganlah terpaku pada satu definisi saja. Berikut ini disampaikan beberapa pengertian perizinan, sebagai berikut:
1. Menurut Lembaga Administrasi Negara
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang merupakan mekanisme pengendalian administratif yang harus dilakukan. Izin sebagai perbuatan hukum sepihak dari Pemerintah yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi si penerima izin perlu ditetapkan dan diatur dalam peraturan perundangan agar terdapat kepastian dan kejelasan, baik yang menyangkut prosedur, waktu, persyaratan, dan pembiayaan.
2. Menurut Prajudi Atmosudirdjo
Perizinan merupakan perbuatan hukum yang bersifat administrasi negara yang diberikan oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang dan diberikan dalam bentuk suatu penetapan (beschikking). Suatu izin atau persetujuan atas sesuatu yang pada umumnya dilarang. Perizinan ini merupakan penetapan atau keputusan yang bersifat positif (pengabulan daripada permohonan seluruhnya atau sebagian) dan tergolong pada penetapan positif yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan, perusahaan, atau perorangan. Perizinan ini timbul dari strategi dan teknik yang dipergunakan oleh Pemerintah untuk menguasai atau mengendalikan berbagai keadaan, yakni dengan melarang tanpa izin tertulis untuk melakukan kegiatan-kegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh Pemerintah.
3. Dikompilasi dari pendapat W.F. Prins, E. Utrecht, dan Van Vollenhoven
Perizinan (vergunningen) merupakan :
- perbuatan yang menyebabkan suatu peraturan undang-undang menjadi tidak berlaku bagi suatu hal yang istimewa. (Pengertian Dispensasi dari W.F. Prins)
- bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). (Pengertian Vergunning dari E. Utrecht)
- izin guna menjalankan sesuatu perusahaan dengan leluasa. (Pengertian Lisensi dari W.F. Prins)
- bilamana orang-orang partikelir ( = swasta) setelah berdamai dengan pemerintah, melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah. (Pengertian Konsesi dari Van Vollenhoven).
Berdasarkan pengertian perizinan sebagaimana dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan konkritnya yaitu, bahwa perizinan yang diberikan oleh Pejabat Pemerintah yang berwenang, dikeluarkan dalam bentuk suatu keputusan tata usaha negara (beschikking). Keputusan tata usaha negara (beschikking) ini oleh Utrecht menyebutnya ’ketetapan’, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya dengan ’penetapan’.
Perbedaan menyebut beschikking dengan ketetapan atau penetapan, oleh Jimly Asshiddiqie, disampaikan gagasan untuk menyeragamkan penyebutannya dengan ’ketetapan’ atau ’keputusan’ bukan penetapan. Beliau berpendapat:
”Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan. Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut ‘Keputusan’ atau ‘Ketetapan’, bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan di lingkungan pengadilan yang menggunakan istilah ’penetapan’ untuk sebutan bagi keputusan-keputusan administrasi di bidang judisial. Istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi ’Ketetapan’ yang sepadan dengan istilah ’Keputusan’. Sedangkan penetapan adalah bentuk ’gerund’ atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya.”
Perlu disampaikan juga pengertian ketetapan dari beberapa sarjana untuk mendapatkan pemahaman yang luas. Van der Pot dan Van Vollenhoven mengatakan ”Ketetapan itu adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, dalam lapangan pemerintahan dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan kekuasaannya yang istimewa”. Oleh Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti dijelaskan lebih lanjut definisi ketetapan dari Van der Pot dan Van Vollenhoven tersebut yaitu, bahwa membuat ketetapan itu merupakan perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum ketetapan itu melahirkan hak dan/atau kewajiban dan ketetapan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban itu disebut ketetapan positif. Ketetapan itu merupakan perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak, maka perbuatan hukum itu harus bersifat publiekrechtelijk yaitu berdasarkan hukum publik, artinya bahwa perbuatan itu harus bersifat memaksa bukan mengatur saja dan perbuatan yang memaksa itu pengaturannya terdapat dalam hukum publik karena ketetapan itu hanya mencerminkan kehendak satu pihak saja, pihak yang memerintah yaitu pihak pemerintah atau administrasi negara. Sedangkan Jimly Asshiddiqie, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ketetapan itu merupakan ”keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusan administrasi negara.”
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian ketetapan sebagaimana disampaikan diatas, maka tentu akan timbul pertanyaan, apakah ada ketentuan umum yang mengatur prosedur pembuatan ketetapan / keputusan tata usaha negara. Philipus M. Hadjon, dkk., mengatakan bahwa tidak ada ketentuan umum yang mengatur tentang tata cara pembuatan keputusan tata usaha negara. Tiap bidang mempunyai prosedur tersendiri, dan persyaratan tersendiri pula. Dalam bidang perizinan saja masing-masing perizinan mempunyai tata cara dan persyaratan tersendiri. Contoh prosedur izin mendirikan bangunan (IMB) berbeda dengan prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin usaha. Selanjutnya izin usaha untuk berbagai jenis usaha pun berjalan sendiri-sendiri. Meskipun begitu Hadjon, memberikan petunjuk untuk membuat prosedur keputusan tata usaha negara. Suatu prosedur yang baik hendaknya memenuhi tiga landasan utama hukum administrasi, yaitu landasan negara hukum, landasan demokrasi, landasan instrumental yaitu daya guna (efisiensi, doelmatigheid) dan hasil guna (efektif, doeltreffenheid).

IUS CONSTITUTUM / HUKUM POSITIF PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH SAKIT
Perizinan merupakan fungsi pengendalian pemerintahan terhadap penyelenggara kegiatan yang dilakukan oleh swasta. Pemberian izin sarana kesehatan merupakan akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat bahwa sarana kesehatan yang telah diberi izin tersebut telah memenuhi standar pelayanan dan aspek keamanan pasien, jadi perizinan sangat terkait dengan standar dan mutu pelayanan. Sehingga dalam pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang termasuk sektor kesehatan, tentu Menteri Kesehatan selaku pimpinan Departemen Kesehatan yang membidangi urusan kesehatan dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki kewenangan untuk membuat dan menetapkan tata cara perizinan pendirian rumah sakit. Prosedur perizinan pendirian rumah sakit itu dituangkan dalam berbagai keputusan.
Berdasarkan pada ketentuan yang berlaku sampai tulisan ini dibuat, pihak swasta yang akan mendirikan rumah sakit harus memperoleh izin pendirian dan izin penyelenggaraan. Izin penyelenggaraan dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu, izin operasional dan izin tetap. Penjelasan selengkapnya, sebagai berikut:
1) Izin Prinsip / Izin Pendirian / Pembangunan Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Masa berlaku izin ini selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun kedepan.
2) Izin Operasional / Izin Penyelenggaraan Sementara Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi. Izin ini berlaku selama 2 (dua) tahun yang diberikan secara pertahun.
3) Izin Tetap / Izin Penyelenggaraan Tetap Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Menteri Kesehatan (teknisnya dilakukan oleh Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik). Masa berlaku izin ini selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tidak hanya memperhatikan ketentuan tentang perizinan saja. Ketentuan lain yang terkait dengan rumah sakit juga harus diperhatikan dan ditaati. Secara garis besar ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan ditaati tersebut, diantaranya sebagai berikut:
1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 262/Menkes/Per/VII/1979 tentang Standarisasi Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah;
2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 084/Menkes/Per/II/1990 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik;
3) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 806b/Menkes/SK/XII/1987 tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta;
4) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 157/ Menkes/SK/III/1999;
5) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/Menkes/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta;
6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta;
7) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 582/Menkes/SK/VI/1997 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah;
8) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1410/Menkes/SK/X/2003 tentang Penetapan Penggunaan Sistem Informasi Rumah Sakit di Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit) –Revisi Kelima;
9) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit;
10) Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 725/Menkes/E/VI/2004 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;
11) Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 1425/Menkes/E/XII/2006 tentang Standar Prosedur Operasional Pelayanan Publik di Lingkungan Departemen Kesehatan;
12) Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor 0308/Yanmed/RSKS/PA/SK/IV/1992 tentang Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Swasta di Bidang Rumah Sakit Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing;
13) Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.3.5.5797 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik Spesialis, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.1.5.787 Tahun 1999;

KELENGKAPAN SURAT PERMOHONAN PERIZINAN RUMAH SAKIT
Berdasarkan hukum positif sebagaimana disebut diatas, pihak swasta (yayasan atau badan hukum lain) yang akan mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit terlebih dahulu harus mempelajari dan memahami tata cara dan persyaratan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut sebelum mengajukan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit kepada Menteri Kesehatan u.p. Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik melalui Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
Pengajuan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit disampaikan dalam bentuk surat permohonan dengan melampirkan kelengkapan berkas-berkas sesuai persyaratan. Sebagai kelengkapan surat permohonan izin tetap, sebagai berikut:
1) Daftar isian untuk mendirikan Rumah Sakit
2) Rekomendasi dari Dinkes Propinsi
3) BAP RS dari Dinkes Propinsi
4) Surat pernyataan dari pemilik RS bahwa sanggup mentaati ketentuan dan peraturan yang berlaku di bidang kesehatan
4) Izin UU Gangguan (HO)/ UPL-UKL
5) Struktur organisasi RS
6) Daftar ketenagaan medis, paramedis non medis
7) Data Kepegawaian Direktur RS:
 Ijazah Dokter
 Surat Penugasan;
 Surat Izin Praktek (SIP)
 Surat Pengangkatan sebagai Direktur oleh pemilik RS
 Surat Pernyataan tidak keberatan sebagai Direktur dan penanggung jawab RS (asli bermaterai)
8) Data Kepegawaian Dokter:
 Ijazah Dokter
 Surat Penugasan
 Surat Izin Praktik (SIP)
 Surat Pengangkatan sebagai Tenaga Dokter di RS oleh Pemilik (untuk tenaga purna waktu)
 Surat Izin atasan langsung untuk tenaga purna waktu
 Surat lolos butuh untuk tenaga purna waktu
9) Data Kepegawaian Paramedik dilampiri Ijazah
10) Hasil pemeriksaan air minum ( 6 bulan terakhir)
11) Daftar inventaris medis, penunjang medis dan non medis
12) Daftar tarif pelayanan medik
13) Denah-denah:
 Denah situasi
 Denah bangunan (1:100)
 Denah jaringan listrik
 Denah air dan air limbah
15) Akte Notaris pendirian badan hukum
16) Sertifikat tanah.

Kemudian perlu diperhatikan bagi permohonan izin tetap agar melampirkan izin operasional dan izin prinsip. Sedangkan bagi permohonan izin operasional agar melampirkan izin prinsip.

KLASIFIKASI RUMAH SAKIT
Berdasarkan bentuk pelayanan, rumah sakit dibedakan jenisnya yaitu, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat nginap. Rumah sakit khusus adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik tertentu, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat nginap.
Rumah sakit umum pemerintah diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan:
1. Rumah Sakit Kelas A
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis luas.
2. Rumah Sakit Kelas BII
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis terbatas.
3. Rumah Sakit Kelas BI
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 11 (sebelas) macam pelayanan medik spesialistik.
4. Rumah Sakit Kelas C
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 4 (empat) macam pelayanan medik spesialitik dasar.
5. Rumah Sakit Kelas D
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki pelayanan medik dasar.
Sedangkan untuk rumah sakit umum swasta, klasifikasinya lain lagi. Klasifikasi rumah sakit umum swasta, yaitu:
1. Rumah sakit umum tingkat Utama
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik umum, spesialistik, dan subspesialistik
2. Rumah sakit umum tingkat Madya
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki 4 (empat) pelayanan medik spesialistik
3. Rumah sakit umum tingkat Pratama
Rumah sakit tipe ini memiliki pelayanan medik umum

PENAMAAN RUMAH SAKIT DAN PERLINDUNGAN HUKUMNYA
Penamaan rumah sakit sering didapati memakai nama yang sama. Penamaan rumah sakit yang memakai nama yang sama dengan nama rumah sakit ditempat lain, adakalanya dapat memberikan pengaruh yang baik / positif, namun tidak jarang dapat menerima akibat yang tidak baik / negatif. Bila sebuah rumah sakit ditempat A bernama X diberitakan dimedia masa keunggulan dan kebaikannya, maka pengaruh pemberitaan itu dapat berpengaruh positif bagi rumah sakit yang memakai nama yang sama meskipun tidak berada dilokasi yang sama. Ini kalau pemberitaannya hal-hal yang baik. Bagaimana halnya bila pemberitaan yang sebaliknya. Tentu bisa-bisa mendatangkan kerugian bagi rumah sakit yang sebenarnya bukan rumah sakit yang dimaksud, hanya namanya saja yang sama. Kalau sudah begitu, bagaimana perlindungan hukumnya !
Pengaturan penamaan rumah sakit memang belum ada ketentuan hukumnya. Bila memperhatikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan berbagai Peraturan / Keputusan Menteri Kesehatan yang mengatur rumah sakit tidak mengatur perihal penamaan dan pendaftaran nama rumah sakit. Namun demikian untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan nama atau resiko yang tidak dapat diduga atas penggunaan nama yang sama, sebaiknya pemilik rumah sakit mendaftarkan nama rumah sakitnya pada instansi yang berwenang.
Penyelenggaraan rumah sakit merupakan kegiatan pelayanan ’jasa’ di bidang kesehatan. Oleh karena itu nama rumah sakit dapat dikategorikan juga sebagai merek jasa. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menjelaskan pengertian tentang merek jasa, yaitu:
”Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.”
Penamaan rumah sakit dapat memakai nama-nama apa saja yang disukai oleh pemilik rumah sakit. Namun demikian dalam penamaan rumah sakit perlu memperhatikan etika penamaan. Berdasarkan Surat Edaran Nomor : 0419/Yan.Kes/RSKS/1984 tanggal 1 September 1984 tentang Pemberian Nama Rumah Sakit, diantaranya menyebutkan bahwa akhir-akhir ini banyak penggunaan nama orang yang masih hidup untuk nama rumah sakit dan mengingat bahwa nama itu merupakan monumen, tapi juga dapat merupakan reklame bagi seseorang (yang menyalahi segi Etik Kedokteran), maka dianjurkan agar pemberian nama rumah sakit tidak mempergunakan nama orang yang masih hidup lebih-lebih bila memakai nama yang punya ataupun yang berpraktek disitu. Dalam memilih nama rumah sakit hendaknya diambil nama dari tokoh pejuang, tokoh pembangunan terutama di bidang kesehatan yang sudah almarhum untuk mengingat dan menghargai jasa-jasanya, dengan menyesuaikan besar kecilnya jasa tokoh tersebut dengan besar/kelasnya rumah sakit atau nama-nama yang netral yang punya arti kasih sayang sesama manusia.

IUS CONSTITUENDUM PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH SAKIT
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit akan mengalami perubahan. Oleh karena sampai saat ini peraturan pelaksana yang merupakan amanat dari PP 38/2007 tersebut masih belum ditetapkan, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit masih menggunakan peraturan lama yang masih berlaku.
Disamping itu, Pemerintah juga sampai saat ini telah berusaha menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Rumah Sakit (RUU Rumah Sakit). Salah satu peluang peraturan-peraturan yang lebih spesifik akan dipayungi oleh RUU Rumah Sakit tersebut, yang dalam waktu tidak lama lagi akan dibahas antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


PENUTUP
Melihat pada uraian yang disampaikan diatas, dimana dalam perizinan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit pada akhirnya masih terpusat seluruhnya pada Menteri Kesehatan. Seiring dengan perkembangan zaman dimana semakin kuatnya arus otonomi daerah pada akhir-akhir ini, banyak tuntutan perubahan pengaturan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit. Pemerintah Daerah baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten / kota mempunyai keinginan yang besar untuk dapat memberikan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tanpa harus lagi menunggu izin dari Pemerintah Pusat, sehingga bisa lebih efisien dan efektif dalam pelaksanaannya. Namun demikian hal itu sampai tulisan ini diturunkan, masih belum dapat terwujud karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan untuk itu. Sehingga berbagai ketentuan peraturan yang disebutkan diatas masih berlaku dan harus ditaati oleh siapa saja yang akan/telah mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit. (rb)

APA BLOG INI CUKUP MEMBANTU ANDA?