Cari

PROFIL

Foto saya
DLM HIDUP BANYAK COBAAN MENGHADANG. DLM HTI: "YA ALLAH BANTU Q HDAPI SEMUA INI N TABAHKANLAH HATI INI". SESULIT APA PUN HIDUP INI JANGAN PERNAH MENYERAH DLM SETIAP COBAAN PASTI ADA HIKMAH DIDALAMNYA. KARENA ITU ---->BERUSAHA DAN BERDOALAH CZ -BERUSAHA TANPA DOA SOMBONG- DOA TANPA USAHA BOHONG- OPTIMIS PASTI BISA!

Senin, 25 Oktober 2010

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN BAB I KETENTUAN UMUM

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
3. Surat Izin Praktek Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik kebidanan.
4. Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi dan standar operasional prosedur.
5. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada tenaga kesehatan yang memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Obat Bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
7. Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna biru yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
8. Organisasi Profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia
BAB II PERIZINAN
Pasal 2
1. Bidan dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan
2. Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri dan/atau praktik mandiri.
3. Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) kebidanan.
Pasal 3
1. Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB
2. Kewajiban memiliki SIPB dikecualikan bagi bidan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri atau Bidan yang menjalankan tugas pemerintah sebagai Bidan Desa.
Pasal 4
1. SIPB sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.
2. SIPB berlaku selama STR masih berlaku.
Pasal 5
1. Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bidan harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
a. Fotocopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari Dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d. Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga ) lembar; dan
e. Rekomendasi dari Organisasi Profesi
2. Surat permohonan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana tercantum dalam Formulir I (terlampir)
3. SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat praktik.
4. SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir
Pasal 6
1. Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi tempat praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan
2. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran peraturan ini.
3. Dalam menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan wajib memasang nama praktik kebidanan
Pasal 7
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
1. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut atas perintanh pengadilan
4. Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
5. Yang bersangkutan meninggal dunia
BAB III PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 8
Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan meliputi:
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pasal 9
1. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan kepada ibu dan bayi
2. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa menyusui.
3. Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari.
Pasal 10
1. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan persalinan normal
e. Pelayanan ibu nifas normal
2. Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan
f. Pemberian penyuluhan
Pasal 11
Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a berwenang untuk:
a. Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah
b. Bimbingan senam hamil
c. Episiotomi
d. Penjahitan luka episiotomi
e. Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
f. Pencegahan anemi
g. Inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h. Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
j. Pemberian minum dengan sonde/pipet
k. Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif kala III;
l. Pemberian surat keterangan kelahiran
m. Pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan cuti melahirkan
Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b, berwenang untuk;
a. Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
b. Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan supervisi dokter;
c. Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
d. Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah; dan
e. Memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada perempuan pada masa pranikah dan prahamil.
Pasal 13
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf c, berwenang untuk:
a. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi;
b. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan
c. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya.
Pasal 14
1. Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
2. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
3. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4. Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
Pasal 15
1. Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter.
2. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleenggarakan sesuai dengan modul Modul Pelatihan yang ditetapkan oleh Menteri.
3. Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh sertifikat.
Pasal 16
Pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan Bidan dengan pendidikan Diploma III kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan yang telah mengikuti pelatihan.
Pasal 17
Bidan dalam menjalankan praktik harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pasal 18
1. Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien
b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.
c. Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;
g. Mematuhi standar; dan
h. Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan kematian.
2. Bidan dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik sepanjang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/ atau keluarganya;
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar pelayanan; dan
d. Menerima imbalan jasa profesi.
Bab IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 20
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan dan mengikutsertakan organisasi profesi.
2. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Pasal 21
1. Dalam rangka melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini.
2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pencabutan SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau
d. Pencabutan SIPB selamanya.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
1. SIPB yang dimiliki Bidan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan masih tetap berlaku sampai masa SIPB berakhir.
2. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, SIPB yang sedang dalam proses perizinan, dilaksanakan sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan sepanjang yang berkaitan dengan perizinan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 2010
Dr. Endang rahayu Sedyaningsih, MPH, DR, PH

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/MENKES/PER/III/2010 TENTANG PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 317/MENKES/PER/III/2010
TENTANG
PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
DI INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa pengaturan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 441/Per/XI/1980 tentang Penggunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing pada Unit Kesehatan di Indonesia, namun sudah tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan sehingga perlu diambil langkah-langkah perubahan;
b
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Di Indonesia;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474);
2.
3.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
1
4.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548;
5.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
6.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1994 tentang Visa, Ijin Masuk dan Ijin Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3563) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4541);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
2
11.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;
12.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor. KEP-249/MEN/82 tahun 1982 tentang Pelaksanaan Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja WNA Pendatang pada sektor Kesehatan sub sektor Pelayanan Kesehatan;
13.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-173/MEN/2000 tentang Jangka Waktu Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;
14.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 131/Menkes/SK/11/ 2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional;
15.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia Nomor M.01-IZ.01.10 tahun 2007 tentang perubahan kedua atas keputusan menteri kehakiman Nomor M.02-IZ.01.10 tahun 1995 tentang visa singgah, visa kunjungan, visa tinggal terbatas, ijin masuk dan ijin keimigrasian;
16.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/ /2007 tentang Izin Praktik dan pelaksanaan Praktik Kedokteran;
17.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA.
3
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Tenaga kesehatan warga negara asing yang selanjutnya disingkat TK-WNA adalah warga negara asing pemegang izin tinggal terbatas yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan dan bermaksud bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah Indonesia.
2. Tenaga Pendamping adalah tenaga kesehatan Indonesia dengan keahlian yang sesuai yang ditunjuk sebagai pendamping TK-WNA dan dipersiapkan sebagai calon pengganti TK-WNA.
3. TK-WNA Pemberi Pelatihan adalah tenaga kesehatan warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhubungan secara langsung dengan pasien.
4. TK-WNA Pemberi Pelayanan adalah tenaga kesehatan warga negara asing yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan yang berhubungan secara langsung dengan pasien.
5. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TK-WNA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TK-WNA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat yang ditunjuk.
6. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TK-WNA.
7. Alih teknologi dan alih keahlian adalah proses pemindahan pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional TK-WNA kepada tenaga pendamping.
8. Evaluasi adalah proses penyesuaian kompetensi tenaga kesehatan lulusan luar negeri agar memenuhi kebutuhan kompetensi yang tepat untuk bekerja di wilayah Indonesia.
9. Sertifikasi kompetensi adalah suatu proses pengakuan terhadap kompetensi yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, dan sikap seorang tenaga kesehatan melalui uji kompetensi.
10. Uji Kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur apakah seseorang telah memiliki kemampuan dan/atau keterampilan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
11. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk menjalankan pekerjaan profesinya.
12. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh KKI atau MTKI kepada TK-WNA yang telah diregistrasi.
4
13. Konsil Kedokteran Indonesia yang selanjutnya disingkat KKI adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen yang mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
14. Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia yang selanjutnya disingkat MTKI adalah lembaga yang berfungsi untuk menjamin mutu tenaga kesehatan selain dokter dan dokter gigi yang memberikan pelayanan kesehatan.
15. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Pasal 2
Pendayagunaan TK-WNA dipertimbangkan sepanjang terdapat hubungan bilateral antara Negara Republik Indonesia dengan Negara asal TK-WNA yang bersangkutan, yang dibuktikan dengan adanya hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pasal 3
(1) TK-WNA hanya dapat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu atas permintaan pengguna TK-WNA.
(2) TK-WNA dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka kerja sosial.
(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan pada pemberian pertolongan pada bencana atas izin pihak yang berwenang.
Pasal 4
(1) TK-WNA dilarang menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) TK-WNA dilarang melaksanakan tugas dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian, jabatan, fasilitas pelayanan kesehatan dan tempat atau wilayah kerja yang telah ditentukan dalam IMTA.
Pasal 5
Bidang pekerjaan yang dapat ditempati TK-WNA meliputi:
a. Pemberi pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan.
b. Pemberi pelayanan.
5
BAB II
JENIS, KUALIFIKASI PENDIDIKAN DAN PERSYARATAN TK-WNA
Pasal 6
(1) Jenis TK-WNA Pemberi Pelayanan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari KKI, atau MTKI, dengan memperhatikan kebutuhan pelayanan dan ketersediaan tenaga kesehatan Indonesia.
(2) Jenis TK-WNA Pemberi Pelatihan ditentukan oleh Menteri berdasarkan kebutuhan akan alih teknologi dan ilmu pengetahuan serta harus mendapatkan rekomendasi dari kolegium bagi dokter dan dokter gigi WNA atau organisasi profesi bagi TK-WNA lain.
Pasal 7
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan berkualifikasi minimal dokter spesialis dan atau dokter gigi spesialis atau yang setara, serta S1 bagi tenaga kesehatan lainnya.
(2) TK-WNA Pemberi Pelatihan berkualifikasi minimal dokter subspesialis atau konsultan, dokter gigi subspesialis atau konsultan atau yang setara, serta S2 bagi tenaga kesehatan lainnya.
Pasal 8
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki STR yang dikeluarkan oleh KKI untuk dokter dan dokter gigi atau oleh MTKI untuk tenaga kesehatan lain serta memiliki Surat Izin Praktik (SIP).
(2) TK-WNA Pemberi Pelatihan harus memiliki surat keterangan referensi keahlian yang dikeluarkan oleh kolegium bagi dokter dan dokter gigi WNA atau organisasi profesi bagi TK-WNA lain serta mendapatkan persetujuan dari KKI bagi dokter dan dokter gigi WNA atau dari MTKI bagi TK-WNA lain.
Pasal 9
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan harus mengikuti proses evaluasi.
(2) Proses evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
6
Pasal 10
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan bekerja selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) TK-WNA Pemberi Pelatihan bekerja untuk jangka waktu 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang.
BAB III
PERSYARATAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
PENGGUNA TK-WNA
Pasal 11
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan hanya dapat bekerja di Rumah Sakit Kelas A dan Kelas B yang telah terakreditasi serta fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) TK-WNA pemberi pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan alih teknologi dan pengetahuan.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang akan mempekerjakan TK-WNA pemberi pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin operasional tetap dan minimal telah berjalan 2 (dua) tahun.
Pasal 12
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan yang akan menggunakan TK-WNA harus memiliki RPTKA dan IMTA.
(2) Menteri mengeluarkan rekomendasi untuk pengesahan RPTKA dan IMTA.
(3) Tata cara permohonan pengesahan RPTKA dan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Untuk mendapatkan rekomendasi RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), fasilitas pelayanan kesehatan mengajukan permohonan secara tertulis dengan melampirkan :
a. Akte badan hukum;
b. Sertifikat akreditasi bagi Rumah Sakit;
c. surat izin operasional tetap minimal telah berjalan 2 (dua) tahun bagi fasilitas pelayanan kesehatan tertentu;
d. surat keterangan domisili;
e. bagan struktur organisasi;
f. surat bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku;dan
g. surat keterangan memenuhi kesehatan lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
7
(2) Permohonan rekomendasi RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada:
a. Menteri atau pejabat yang ditunjuk melalui Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Kabupaten/Kota atau swasta;
b. Menteri atau Pejabat yang ditunjuk melalui Kepala Dinas kesehatan Propinsi bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah Propinsi;
c. Menteri atau pejabat yang ditunjuk bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Departemen Kesehatan.
(3) Dalam rangka penerbitan rekomendasi RPTKA, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan:
a. pengkajian RPTKA berdasarkan kebutuhan daerah;
b. peninjauan lapangan dan menilai kelayakan sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah kabupaten/kota dan swasta;dan
c. menyampaikan hasil pengkajian dan peninjauan lapangan kepada Pemerintah Propinsi.
(4) Dalam rangka penerbitan rekomendasi RPTKA, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi melakukan:
a. pengkajian RPTKA berdasarkan kebutuhan daerah;
b. peninjauan lapangan dan menilai kelayakan sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah propinsi;
c. penilaian dokumen yang diajukan oleh pemerintah kabupaten/kota;
d. penyampaian hasil pengkajian dan peninjauan lapangan dan penilaian dokumen kepada Pemerintah.
(5) Dalam rangka penerbitan rekomendasi RPTKA, Menteri atau pejabat yang ditunjuk melakukan:
a. pengkajian RPTKA berdasarkan kebutuhan nasional;
b. peninjauan lapangan dan menilai kelayakan fasilitas pelayanan kesehatan; dan
c. penilaian dokumen yang diajukan oleh pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 14
(1) Untuk mendapatkan Rekomendasi IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), fasilitas pelayanan kesehatan mengajukan permohonan secara tertulis dengan melampirkan:
a. sertifikat kompetensi dari negara asal;
b. Surat Tanda Registrasi atau surat keterangan telah teregristrasi sebagai tenaga kesehatan dari Instansi yang berwenang di bidang kesehatan di negara asal;
c. fotocopy ijasah pendidikan tenaga kesehatan yang diakui oleh negara asal;
d. surat pernyataan telah mengucapkan sumpah atau janji profesi;
e. surat keterangan sehat fisik dan mental dari negara asal;
8
f. surat keterangan pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun sesuai dengan jabatan yang akan diduduki;
g. surat rekomendasi (letter of performance) dari Instansi yang berwenang di bidang kesehatan di negara asal;
h. surat keterangan berkelakuan baik dari instansi yang berwenang di negara asal;
i. surat keterangan tidak pernah melakukan pelanggaran etik dari organisasi profesi negara asal;
j. surat izin praktik dari negara asal yang masih berlaku;
k. surat pernyataan bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan, sumpah profesi kesehatan, dan kode etik profesi kesehatan yang berlaku di Indonesia;
l. surat pernyataaan bersedia melakukan alih teknologi dan ilmu pengetahuan kepada tenaga kesehatan Warga Negara Indonesia khususnya tenaga pendamping;
m. surat pernyataan dari fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dengan menunjukkan bukti bersedia dan mampu menanggung biaya hidup minimal untuk jangka waktu 2 (dua) tahun di Indonesia;
n. mampu berbahasa Indonesia dengan baik yang dibuktikan dengan sertifikat bahasa Indonesia dari lembaga yg ditunjuk oleh pemerintah;
o. surat pernyataan bersedia melakukan evaluasi bagi TK-WNA Pemberi Pelayanan;
p. surat persetujuan (letter of acceptance) dari kolegium terkait di Indonesia;
q. fotocopy keputusan pengesahan RPTKA yang masih berlaku;
r. daftar riwayat hidup calon TK-WNA; dan
s. fotocopy paspor calon TK-WNA.
(2) Permohonan rekomendasi IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada:
a. Menteri atau pejabat yang ditunjuk melalui Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Kabupaten/Kota atau swasta;
b. Menteri atau pejabat yang ditunjuk melalui Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Propinsi;
c. Menteri atau pejabat yang ditunjuk bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah.
Pasal 15
(1) Penyelenggara pelatihan yang dapat menggunakan TK-WNA Pemberi Pelatihan meliputi:
a. institusi pendidikan tenaga kesehatan yang terakreditasi;
b. rumah sakit pendidikan;
c. organisasi profesi;
d. rumah sakit non pendidikan.
9
(2) Rumah Sakit non pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus bekerja sama dengan institusi pendidikan tenaga kesehatan yang terakreditasi, rumah sakit pendidikan, dan/atau organisasi profesi.
Pasal 16
(1) Penyelenggara pelatihan mengajukan permohonan Persetujuan kepada KKI bagi dokter dan dokter gigi WNA atau Menteri bagi TK-WNA lain.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah memperoleh pengesahan RPTKA dan IMTA.
Pasal 17
Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, penyelenggara pelatihan mengajukan permohonan dengan melampirkan:
a. proposal/kerangka acuan pelaksanaan kegiatan pelatihan;
b. ijasah pendidikan TK-WNA yang diakui oleh negara asal;
c. surat keterangan pengalaman kerja paling singkat 5 (lima) tahun sesuai dengan jabatan yang akan diduduki;
d. surat rekomendasi dari Instansi yang berwenang di bidang kesehatan di negara asal;
e. daftar riwayat hidup TK-WNA (pengalaman dalam bidang terkait dan publikasi);
f. surat keterangan berkelakuan baik dari instansi yang berwenang di negara asal; dan
g. surat keterangan referensi keahlian dari kolegium atau organisasi profesi terkait di Indonesia.
BAB IV
SERTIFIKASI DAN REGISTRASI TK-WNA
Pasal 18
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki sertifikat kompetensi.
(2) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh sesuai peraturan perundang-undangan.
10
Pasal 19
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh KKI untuk dokter dan dokter gigi atau oleh MTKI untuk tenaga kesehatan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB V
TATA CARA PERPANJANGAN PENDAYAGUNAAN TK-WNA
Pasal 20
(1) TK-WNA Pemberi Pelayanan yang telah berakhir masa kerjanya dapat diperpanjang selama 1 (satu) tahun setelah memenuhi persyaratan.
(2) Dalam hal perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) fasilitas pelayanan kesehatan melakukan:
a. permohonan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan paling lama 3 (tiga) bulan sebelum berakhir masa kerja TK-WNA sebagai pemberi pelayanan;
b. permohonan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan ditujukan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2);
c. permohonan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan sebagaimana dimaksud pada huruf b dengan melampirkan:
1) surat persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA sebagai pemberi pelayanan;
2) surat rekomendasi dari organisasi profesi yang menyatakan tidak ada pelanggaran dalam pelayanan yang sudah dilaksanakan;
3) laporan hasil kerja TK-WNA pemberi pelayanan selama 6 (enam) bulan terakhir; dan
4) rencana kerja TK-WNA pemberi pelayanan 1 (satu) tahun yang akan datang.
(3) Dalam hal permohonan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk melakukan:
a. penilaian permohonan perpanjangan masa kerja TK-WNA sebagai pemberi pelayanan dengan melibatkan Konsil Kedokteran Indonesa atau MTKI;
b. menerbitkan rekomendasi persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan;
c. menerbitkan surat keterangan penolakan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan;
11
d. mengirimkan rekomendasi persetujuan atau surat keterangan penolakan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelayanan kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
Pasal 21
(1) Penyelenggara Pelatihan dapat mengajukan permohonan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelatihan ditujukan kepada KKI bagi dokter dan dokter gigi WNA atau Menteri bagi TK-WNA lain.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan:
a. surat persetujuan perpanjangan masa kerja TK-WNA Pemberi Pelatihan;
b. surat rekomendasi dari organisasi profesi yang menyatakan tidak ada pelanggaran dalam pelayanan yang sudah dilaksanakan;
c. laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan selama 6 (enam) bulan terakhir; dan
d. rencana pelaksanaan pendidikan dan pelatihan 6 (enam) bulan yang akan datang.
Pasal 22
Tata cara perpanjangan IMTA dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
Pasal 23
(1) TK-WNA berhak mendapatkan kompensasi dari fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan sesuai kontrak.
(2) TK-WNA berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pekerjaan yang sesuai standar profesinya sesuai dengan peraturan perundangan.
Pasal 24
(1) TK-WNA berkewajiban menyampaikan laporan kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan kompetensinya secara periodik kepada organisasi profesi dengan tembusan kepada Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/kota.
12
(2) TK-WNA berkewajiban menaati standar profesi, standar pelayanan dan etika profesi.
BAB VII
KEWAJIBAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
Pasal 25
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban menunjuk 2 (dua) orang tenaga kesehatan Indonesia sebagai tenaga pendamping.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban memberikan kompensasi yang sesuai atas setiap TK-WNA yang dipekerjakan.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban melaporkan secara berkala hasil kerja TK-WNA kepada Dinas Kesehatan setempat.
(4) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban melaporkan TK-WNA setelah hubungan kerja berakhir.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 26
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan ini.
(2) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengambil tindakan administratif.
Pasal 27
(1) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat berupa:
a. teguran lisan,
b. teguran tertulis, atau
c. pencabutan izin, antara lain: izin fasilitas pelayanan kesehatan, IMTA dan/atau STR.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
13
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan TK-WNA pada saat ditetapkannya peraturan ini harus menyesuaikan diri dengan peraturan ini paling lama 6 (enam) bulan sejak peraturan ini ditetapkan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 441/Menkes/Per/XI/1980 tentang Pembatasan Penggunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing pada unit kesehatan di Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 30
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
                                                 
                                                                                          Ditetapkan di Jakarta
                                                                                     pada tanggal 1 Maret 2010
                                                                                                  Menteri,
                                                                                                     ttd
                                                                     Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR.PH

APA BLOG INI CUKUP MEMBANTU ANDA?